Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Physical Distancing? Jangan Sedih, Saatnya Merawat Paru-paru di Tengah Pandemi Covid-19

Belakangan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencanangkan istilah physical distancing atau melakukan jarak fisik.

Penulis: Ika Nur Cahyani
Editor: Facundo Chrysnha Pradipha
zoom-in Physical Distancing? Jangan Sedih, Saatnya Merawat Paru-paru di Tengah Pandemi Covid-19
Unsplash, Daily Star
Foto paru-paru rusak milik penderita virus corona kronis 

TRIBUNNEWS.COM - Belakangan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencanangkan istilah physical distancing atau melakukan jarak fisik. 

Frasa baru ini digunakan untuk mengganti sosial distancing atau jarak sosial yang kini sudah diadopsi sejumlah negara.

Diberitakan Tribunnews sebelumnya, WHO melakukan ini guna menegaskan pada masyarakat agar bersedia berdiam diri di rumah.

Tujuannya tentu untuk memutus rantai penyebaran Covid-19.

“Tapi yang ingin saya tekankan di sini adalah jarak fisik. Mengapa saya mengatakan itu adalah karena beberapa orang yang berada di karantina memerlukan interaksi sosial. Sekarang mudah melalui media sosial."

"Menurut definisi, interaksi sosial dapat dilakukan menggunakan media sosial. Jadi yang kami maksud di sini adalah jarak fisik,” kata Dr Rui Paulo de Jesus, Perwakilan WHO di Bhutan.

Baca: Tak Indahkan Anjuran Diam di Rumah karena Corona, 2 Pesta Pernikahan Dibubarkan Polisi

Baca: VIDEO Paru-paru Manusia yang Rusak karena Virus Corona, Dokter AS: Saatnya Anggap Serius!

Sudah beberapa pekanini, Indonesia menerapkan sosial distancing.

Berita Rekomendasi

Tapi beberapa waktu lalu Presiden Joko Widodo pun juga sudah mendeklarasikan istilah baru untuk mengurangi kegiatan fisik.

Setidaknya dengan berkurangnya aktivitas di luar, maka kapasitas untuk menghidup udara jalanan dan polusi menurun.

Melansir New York Times, menghirup udara tercemar mungkin beresiko lebih tinggi terjangkit Covid-19 bahkan bisa jatuh ke kondisi kritis.

Alasannya ada dua, yakni polusi udara dapat menyebabkan atau memperburuk penyakit pernapasan seperti asma atau penyakit paru obstruktif kronis.

Hasil rontgen memperlihatkan paru-paru pasien bersih setelah sel-sel imun berperang melawan virus corona. Foto kiri pada hari kelima perawatan, foto kanan pada hari ke-10.
Hasil rontgen memperlihatkan paru-paru pasien bersih setelah sel-sel imun berperang melawan virus corona. Foto kiri pada hari kelima perawatan, foto kanan pada hari ke-10. (Kompas.com via The Guardian)

Penyakit-penyakit ini akan membuat tubuh lebih rentan pada efek terburuk infeksi yang menyerang saluran pernapasan atau paru-paru.

Kedua, paparan polusi udara bisa meningkatkan kemungkinan tertular virus di tempat pertama.

Kemungkinan ini terlepas dari kondisi kesehatan yang mendasarinya.

"Meningkatnya polusi meningkatkan kerentanan terhadap infeksi," kata Dr. Meredith McCormack, juru bicara Asosiasi Paru-paru Amerika atau (American Lung Association and associate professor of pulmonary and critical care) di Universitas Jonh Hopkins.

"Semua hal sama, seseorang yang terpapar polusi udara kemungkinan akan memiliki hasil yang lebih buruk jika mereka terpapar coronavirus."

Baca: Viral Video Wanita dan Anak Kecil Hisap Rokok Herbal Beramai-ramai, Klaim Bisa Cegah Virus Corona

Baca: Ini Perbedaan Kondisi Udara China dan Italia setelah Lockdown, Lebih Bebas Polusi

Sebenarnya pemberlakuan lockdown atau isolasi dan jarak fisik ini memiliki hikmah tersendiri bagi kondisi bumi.

Faktanya banyak foto yang memperlihatkan penurunan tajam polusi udara di sejumlah negara.

McCormack menilai kondisi ini bagus guna mengurangi orang-orang yang sakit karena paparan udara yang buruk.

Biasanya hal itu terjadi ketika tingkat polusi udara di suatu daerah yang tiba-tiba mengalami lonjakan.

Tapi dia mencatat bahwa masih ada wilayah yang memiliki polusi tinggi meski ada anjuran tinggal di rumah karena pandemi corona.

"Bahkan dalam pengaturan pandemi ini, masih akan ada daerah yang terpapar tinggi."

Pemandangan gedung bertingkat diselimuti polusi udara di Jakarta, Jumat (30/8/2019). Mengacu pada data gabungan AQMS KLHK dan pemerintah DKI Jakarta, kualitas udara Jakarta berada pada konsentrasi 39,04 ?g/Nm3 atau pada kategori tidak sehat untuk kelompok sensitif. Tribunnews/Jeprima
Pemandangan gedung bertingkat diselimuti polusi udara di Jakarta, Jumat (30/8/2019). Mengacu pada data gabungan AQMS KLHK dan pemerintah DKI Jakarta, kualitas udara Jakarta berada pada konsentrasi 39,04 ?g/Nm3 atau pada kategori tidak sehat untuk kelompok sensitif. Tribunnews/Jeprima (Tribunnews/JEPRIMA)

Seperti halnya terjadi di lingkungan pembangkit listrik dan kilang.

Tentu kegiatan ini dianggap penting dan tidak mungkin ditutup.

Bagaimanapun juga meski saat ini tingkat polusi menurun, tapi paparan pencemaran udara yang kronik tidak bisa dihindari secepat itu.

Bagi beberapa orang yang tinggal dengan papara polusi secara berkala, kondisi sistem pernapasan dan imun kemungkinan terancam.

Masih menurut laporan New York Times, paparan polusi udara kronis sering dikaitkan dengan ras dan kemiskinan.

Di Amerika Serikat, orang kulit berwarna jauh lebih mungkin tinggal di tempat dengan kualitas udara yang buruk.

Daerah berpolusi tinggi biasanya terjadi di lingkungan dengan tingkat kesejahteraan menengah kebawah.

Sekitar 18 juta orang yang pendapatannya memenuhi definisi federal untuk kemiskinan, tinggal di daerah dengan kualitas udara terburuk di Amerika.

Meski tidak seburuk kondisi udara di luar, tapi jangan meremehkan sirkulasi udara di dalam ruangan.

McCormack yang tengah merawat pasien Covid-19 di AS ini, menekankan pentingnya berhenti dan menghindari asap rokok di dalam ruangan.

Ilustrasi.
Ilustrasi. (Shutterstock)

"Jika ada perokok di rumah, partikelnya (polusi) bisa jauh lebih tinggi di dalam ruangan daripada di luar ruangan," katanya.

Ini tidak hanya berlaku untuk rokok konvensional tapi juga vape.

Menggoreng makanan atau memasak tanpa ventilasi yang baik juga dapat meningkatkan polusi udara dalam ruangan.

Nitrogen oksida dari kompor gas dikenal sebagai iritasi pernapasan, sehingga saat memasak bukalah jendela agar sirkulasi udara lancar.

Namun berbeda halnya dengan rumah yang dekat dengan sumber polusi seperti pabrik, jadi ada baiknya menggunakan pembersih udara atau air purifier.

Lebih baik selalu cek sudut rumah yang lembab dan berjamur.

"Jamur memperburuk asma," kata McCormack.

Para hewan pengerat atau hama rumahan seperti tikus dan kecoa juga penting dibasmi, sebab hewan ini bisa memicu asma.

McCormack menyarankan agar menyimpan makanan dengan rapat-rapat.

Sementara itu bila memang sudah memiliki kondisi asma, dia menegaskan agar disiplin menggunakan obat bila diperlukan.

"Dengan polusi dalam ruangan, kita bisa mengendalikannya sendiri," ungkapnya.

"Ini adalah saat yang tepat untuk mengubah kebiasaan."

(Tribunnews/Ika Nur Cahyani/Yurika Nendri)

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas