Dewan Pengawas KPK Nilai Dalih Koruptor Bebas karena Wabah Corona Tidak Tepat
Syamsuddin mengungkapkan bahwa pelaku kejahatan tindak pidana korupsi harus diperlakukan secara luar biasa.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Syamsuddin Haris menyatakan dalih pembebasan narapidana korupsi demi mencegah penularan Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) tidak tepat.
Syamsuddin mengungkapkan bahwa pelaku kejahatan tindak pidana korupsi harus diperlakukan secara luar biasa.
"Kejahatan luar biasa harus tetap diperlakukan secara luar biasa pula. Sehingga, tidak adil jika koruptor (dan juga teroris) dibebaskan dengan alasan wabah corona," kata Syamsuddin saat dihubungi, Jum'at (3/4/2020).
"Karena mereka sendiri tidak pernah memperhitungkan dampak kemanusiaan dari tindak pidana kejahatan yang dilakukannya," imbuhnya.
Baca: Hasil Rapid Test Positif, Seorang Pemudik Asal Surabaya Jadi PDP di RSUD Ir Soekarno Sukoharjo
Penolakan atas usulan revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan juga datang dari Wadah Pegawai KPK.
Ketua WP KPK Yudi Purnomo Harahap meminta Menkumham Yasonna H Laoly tidak menjadikan wabah virus corona sebagai jalan untuk membebaskan narapidana korupsi melalui revisi PP tersebut.
"Jangan jadikan epidemi Covid-19 sebagai kendaraan koruptor untuk bebas," ujar Yudi kepada wartawan, Jum'at (3/4/2020).
Yudi berpendapat langkah Yasonna merevisi aturan tersebut sebagai bentuk keringanan hukuman terhadap narapidana korupsi. Bahkan, menghilangkan efek jera terhadap para pelaku korupsi lainnya.
Di samping itu, menurut dia, usulan tersebut tidak selaras dengan cita-cita bangsa agar dapat hidup terbebas dari korupsi.
Baca: Aa Gym Prihatin Dengar Adanya Penolakan Jenazah Korban Corona di Sejumlah Daerah
"Wadah Pegawai KPK menilai terdapat beberapa argumentasi mengapa inisiatif tersebut sangat berbahaya bagi cita pemberantasan korupsi dan harus ditolak," katanya.
Yudi pun lantas menyinggung kondisi saat ini di mana Pemerintah RI menggelontorkan anggaran Rp405,1 triliun guna percepatan penanganan Covid-19.
Ia mengatakan keadaan ini berpotensi besar dimanfaatkan oleh 'penumpang gelap' untuk melakukan korupsi.
Baca: Peraih Nobel Jepang Lebih Menekankan Pemahaman Terhadap Corona dari pada Deklarasi Darurat Kesehatan
"Untuk itu, pesan serius yang memberikan efek deterrence atau pencegahan haruslah semakin ditekankan bukan malah dihilangkan," tandasnya.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa upaya Yasonna melakukan revisi PP Nomor 99 Tahun 2012 bukan kali ini saja terjadi.
Dari segala usaha yang telah dilakukan, rencana politikus PDI Perjuangan itu selalu mendapat penolakan dari masyarakat.
"Untuk itu, jangan sampai epidemi Covid-19 justru malah menjadi momentum yang dimanfaatkan untuk memuluskan rencana tersebut," ujar dia.
Ia menilai alasan pembebasan narapidana korupsi untuk mencegah penularan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan (Rutan) yang melebihi kapasitas sebagai sesuatu yang tidak tepat.
"Banyak metode lain yang dapat diterapkan untuk menghindari risiko Covid-19 bagi para terpidana korupsi. Mulai dari adanya pengaturan soal sel sampai dengan kunjungan sehingga seharusnya tidak menjadi alasan," katanya.
Berdasarkan argumentasi itu, ia meminta kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) supaya tidak melanjutkan pembahasan revisi PP Nomor 99 Tahun 2012.
Baca: Maksud Hati Cegah Warga Keluar Rumah, Pria Ini Malah Didatangi Polisi Karena Pakai Kostum Seram
"Kami menyatakan untuk mendorong Bapak Presiden Joko Widodo agar memerintahkan Menkumham Yasonna H. Laoly untuk tidak melanjutkan revisi PP Nomor 99 Tahun 2012," kata Yudi.