Penerapan UU Kekarantinaan Kesehatan Tak Sederhana Sebab Membatasi Kegiatan Keagamaan
Koalisi Masyarakat Sipil sempat mendesak pemerintah segera menetapkan kebijakan darurat kesehatan nasional.
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Upaya pemerintah membatasi kegiatan warga, seperti bekerja, belajar, dan beribadah dari rumah selama penanganan penyebaran coronavirus disease (Covid)-19 mendapatkan pertentangan dari sejumlah pihak.
Mereka menilai pemerintah ragu-ragu melaksanakan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Koalisi Masyarakat Sipil sempat mendesak pemerintah segera menetapkan kebijakan darurat kesehatan nasional.
Akhirnya pemerintah memutuskan status darurat kesehatan masyarakat dan memilih kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PPSB) untuk menanggulangi Covid-19.
Baca: Kematian di Amerika Serikat akibat Corona Tembus 10 Ribu, Lampaui Rekor Korban 6 Perang oleh AS
Salah satu alasan mengapa penerapan UU Kekarantinaan Kesehatan tidak sederhana, karena membatasi kegiatan keagamaan.
“Pelaksanaan Undang-Undang tidak sederhana, karena ada keterkaitan dengan pembatasan kegiatan keagamaan,” kata Inas N, mantan anggota DPR RI periode 2014-2019, saat dihubungi, Selasa (7/4/2020).
Dia menjelaskan, pemerintah tidak boleh sewenang-wenang membatasi kegiatan keagamaan. Pasal 28 E ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 menjamin negara tidak boleh ikut campur dalam urusan peribadatan agama apapun di Indonesia.
Baca: Indonesia Darurat Corona, Komnas HAM Minta Rencana Pengesahaan RKUHP Ditunda
Namun, di tengah situasi pandemi, kata dia, pembatasan kegiatan termasuk kegiatan keagamaan itu sangat dibutuhkan dalam memutus penularan wabah Covid-19 dalam bentuk social distancing atau pembatasan sosial.
Menurut dia, dibutuhkan fatwa dari lembaga otoritas keagamaan dari agama-agama yang diakui di Indonesia.
Kemudian, pemerintah berkomunikasi dengan lembaga otoritas keagamaan, dimana salah satunya Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menerbitkan Fatwa Nomor 14 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Ibadah dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19.
Baca: Mulai Hari Ini, Penyesuaian Terbaru Operasi Lintas KRL, Simak Rutenya
Setelah meminta fatwa lembaga otoritas keagamaan, lalu, dituangkan ke Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19.
“Presiden adalah salah satu lembaga Negara yang berwenang menuangkan pendapat keagamaan dari lembaga otoritas agama ke peraturan perundang-undangan berdasarkan UU No. 15/2019 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,” tambahnya.