Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Tidur Tengkurap Terbukti Efektif Sembuhkan Pasien Corona, Ini Penjelasan Dokter Paru-paru

Seiring terus meningkatnya kasus Covid-19 di seluruh dunia, foto-foto perawatan pasien di rumah sakit menjadi terlalu akrab bagi kita.

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Tidur Tengkurap Terbukti Efektif Sembuhkan Pasien Corona, Ini Penjelasan Dokter Paru-paru
EPA-Efe/STR
Tim medis memeriksa seorang pasien yang terinfeksi virus corona di Rumah Sakit Jinyintan Wuhan pada 26 Januari 2020. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Seiring terus meningkatnya kasus Covid-19 di seluruh dunia, foto-foto perawatan pasien di rumah sakit menjadi terlalu akrab bagi kita.

Namun saat kita melihat pasien Covid-19 dipasangi ventilator untuk membantu mereka bernafas, satu detil menarik perhatian.

Mengapa banyak dari pasien-pasien tersebut berada dalam posisi tengkurap?

Teknik ini disebut proning dan telah terbukti bermanfaat bagi beberapa pasien yang menderita penyakit pernapasan.

Posisi ini membantu meningkatkan jumlah oksigen yang masuk ke paru-paru mereka.

Namun teknik ini juga ada risikonya.

Meningkatkan aliran oksigen

Berita Rekomendasi

Pasien dapat ditempatkan dalam posisi tengkurap (dari bahasa Latin pronus, berarti condong ke depan) selama beberapa jam untuk memindahkan cairan yang mungkin telah terkumpul di paru-paru mereka dan mengganggu pernapasan mereka.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan agar pasien Covid-19 dengan gangguan pernapasan akut ditempatkan dalam posisi tengkurap selama beberapa jam.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan agar pasien Covid-19 dengan gangguan pernapasan akut ditempatkan dalam posisi tengkurap selama beberapa jam. ()

Teknik ini semakin sering digunakan untuk merawat pasien Covid-19 yang membutuhkan dukungan perawatan intensif.

"Banyak pasien Covid-19 tidak mendapat cukup oksigen di paru-paru mereka dan itu menyebabkan kerusakan," kata Panagis Galiatsatos, seorang dokter paru-paru dan pakar perawatan kritis sekaligus asisten profesor di Universitas Johns Hopkins, AS.

"Dan meskipun mereka diberi oksigen, kadang-kadang itu tidak cukup. Jadi, yang kita lakukan adalah menelungkupkan pasien, dengan perut pasien di bawah, agar paru-paru mereka mengembang."

Dr. Galiatsatos mengatakan bagian terberat dari paru-paru terletak di punggung kita, sehingga pasien yang berbaring dengan berat badan bertumpu pada punggung mereka akan lebih sulit mendapatkan udara yang cukup.


Sebaliknya, teknik proning meningkatkan aliran oksigen dan mendorong penggunaan berbagai bagian paru-paru.

"Ini bisa membuat perubahan yang nyata, kami telah melihat keampuhannya pada banyak pasien," kata sang dokter.

Pada bulan Maret, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan proning untuk pasien Covid-19 dewasa dengan sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS), untuk jangka waktu 12 hingga 16 jam sehari.

WHO mengatakan teknik ini dapat dipertimbangkan untuk anak-anak, tetapi akan membutuhkan orang-orang yang terlatih dan keahlian tambahan untuk melakukannya dengan aman.

Sebuah studi oleh komunitas pakar kesehatan, American Thoracic Society, mendapati bahwa pasien yang tidak pernah ditempatkan dalam kondisi tengkurap memiliki kapasitas ekspansi paru yang lebih buruk, dibandingkan dengan mereka yang berbaring seperti biasa.

Studi ini berdasarkan pada 12 pasien dengan ARDS parah terkait Covid-19 yang dirawat di rumah sakit Jinyintan di Wuhan, China, pada bulan Februari.

Teknik berisiko

Tetapi meskipun tampak seperti prosedur sederhana, proning disertai dengan komplikasi potensial.

Menengkurapkan pasien perlu waktu dan perlu sejumlah tenaga profesional berpengalaman.

"Itu tidak mudah. ​​Empat atau lima orang diminta untuk melakukannya secara efektif," kata Dr. Galiatsatos.

Ini mungkin terbukti sulit di rumah sakit yang kekurangan staf dan berjuang dengan peningkatan eksponensial dalam penerimaan Covid-19.

Rumah sakit Johns Hopkins, menurut Dr Galiatsatos, telah membentuk tim yang didedikasikan untuk melakukan proning, sebagai respons terhadap peningkatan jumlah pasien virus corona.

"Jadi, jika pasien Covid-19 berada di unit perawatan intensif yang para stafnya tidak terbiasa dengan prosedur semacam ini, mereka [staf] dapat memanggil tim spesialis yang akan menempatkan pasien dalam posisi tengkurap."

Tetapi mengubah posisi pasien juga dapat memiliki serangkaian komplikasi.

"Obesitas adalah salah satu kekhawatiran terbesar kami. Kami juga harus hati-hati dengan orang yang mengalami cedera dada, dan pasien dengan tabung ventilasi atau tabung kateter."

Teknik ini juga dikaitkan dengan peningkatan risiko serangan jantung dan kadang-kadang dapat menyebabkan penyumbatan saluran udara.

'Banyak digunakan'

Manfaat proning pertama kali diamati pada pertengahan 1970-an.

Tetapi baru pada tahun 1986 proning menjadi praktik umum di rumah sakit di seluruh dunia, kata para ahli.

Luciano Gattinoni adalah salah satu dokter pertama yang memimpin studi awal tentang teknik ini - dan berhasil mencobanya pada pasien.

Ia saat ini menjabat profesor emeritus di Università Statale Milan dan merupakan pakar anestesiologi dan resusitasi.

Prof. Gattinoni mengatakan kepada BBC bahwa proning menghadapi "banyak keberatan" pada hari-hari awalnya, yang ia kaitkan dengan karakter "sangat konservatif" dari komunitas medis.

"Tapi sekarang sudah banyak digunakan," ujarnya.

Sang profesor mengatakan peningkatan oksigenasi paru-paru bukan satu-satunya manfaat dari proning.

"Saat pasien tengkurap, beban [fisik] di paru-paru mereka terdistribusikan lebih merata," Prof. Gattinoni menjelaskan.

"Bayangkan paru-paru yang terkena energi mekanik dari ventilator: rasanya seperti ditinjut terus menerus. Jelas, semakin merata gaya ini, semakin sedikit bahaya yang ditimbulkannya."

Studi lain yang mendukung manfaat dari teknik ini diterbitkan pada awal abad ke-21.

"Sebuah studi yang dilakukan di Prancis pada 2000 menemukan bahwa pasien [yang tengkurap] tidak hanya mengalami peningkatan oksigenasi, mereka juga memiliki peluang lebih baik untuk bertahan hidup".

Pada pokoknya, ini adalah satu jurus melawan pandemi yang telah membunuh puluhan ribu orang — dan belum ada obatnya.

Sumber: BBC Indonesia
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas