Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Ilmuwan Temukan Jenis Virus Corona Baru yang Lebih Menular, Apa Bahayanya?

Para ilmuwan menerbitkan temuan tentang jenis virus Corona baru yang tampaknya lebih menular dari yang selama ini mewabah. Apa bahayanya?

Penulis: Citra Agusta Putri Anastasia
Editor: Pravitri Retno W
zoom-in Ilmuwan Temukan Jenis Virus Corona Baru yang Lebih Menular, Apa Bahayanya?
Sumber: NIAID-RML vis Bloomberg
Bentuk virus Corona di mikroskop - Para ilmuwan menerbitkan temuan tentang jenis virus Corona baru yang tampaknya lebih menular dari yang selama ini mewabah. Apa bahayanya? 

TRIBUNNEWS.COM - Para ilmuwan menerbitkan temuan tentang jenis virus Corona baru.

Temuan tersebut ditulis oleh para ilmuwan di Laboratorium Nasional Los Alamos, Amerika Serikat.

Duke University dan University of Sheffield di Inggris juga berkontribusi dalam penelitian tersebut. 

Dilansir LA Timesmereka telah menemukan jenis virus Corona baru yang tampaknya lebih menular dari yang selama ini mewabah.

Baca: Awalnya Yakin Juli Berakhir, Jokowi Mulai Ragu Soal Akhir Pandemi dan Khawatir Gelombang Dua Corona

Baca: Dituduh Sebagai Sumber Virus Corona, China Sebut Menlu AS Hanya Menggertak

Mutasi Covid-19 yang dimaksud adalah D641G.

Menurut laporan, awalnya virus baru ini muncul di Eropa pada Februari 2020, sebelum dibawa ke East Coast, Amerika Serikat.

Kemudian, D6416 telah menjadi pandemi yang dominan.

Berita Rekomendasi

Disebutkan, D641G mempengaruhi lonjakan pada bagian luar virus.

Itu memungkinkannya untuk menyusup ke sel-sel pernapasan.

Gambar ini diperoleh 12 Maret 2020, milik National Institutes of Health (NIH) / NIAD-RML menunjukkan gambar mikroskop elektron transmisi SARS-CoV-2, virus yang menyebabkan COVID-19, diisolasi dari seorang pasien di AS, karena partikel virus (benda bulat emas) muncul dari permukaan sel yang dikultur di lab, paku di tepi luar partikel virus memberi coronavirus nama mereka, seperti mahkota.
Gambar ini diperoleh 12 Maret 2020, milik National Institutes of Health (NIH) / NIAD-RML menunjukkan gambar mikroskop elektron transmisi SARS-CoV-2, virus yang menyebabkan COVID-19, diisolasi dari seorang pasien di AS, karena partikel virus (benda bulat emas) muncul dari permukaan sel yang dikultur di lab, paku di tepi luar partikel virus memberi coronavirus nama mereka, seperti mahkota. (Institut Kesehatan Nasional / AFP)

Bette Korber, ahli biologi komputasi di Los Alamos yang memimpin penelitian, menerangkan ketika mutasi virus tersebut memasuki suatu populasi, mereka akan secara cepat mengambil alih epidemi lokal.

Alhasil, viruspun lebih mudah menular.

Bukan hanya jenis baru yang menyebar lebih cepat, D641G juga membuat orang rentan terinfeksi virus untuk kedua kalinya.

Penulis laporan mengatakan, mereka berbagi penelitian via online karena mereka merasakan kebutuhan mendesak akan peringatan dini tentang virus.

Baca: Cara Mengurangi Gangguan Kecemasan akibat Pandemi Corona Menurut Ahli: Menerima dan Batasi Informasi

Mereka memastikan perawatan di seluruh dunia efektif dalam menumpas virus baru ini.

"Ini mengkhawatirkan, karena kita melihat bentuk virus yang bermutasi muncul dengan sangat cepat, dan selama bulan Maret menjadi bentuk pandemi yang dominan," kata Korber.

Penelitian yang dirilis di BioRviv pada Kamis (30/4/2020) itu didasarkan pada analisis lebih dari 6.000 rangkaian virus Corona dari seluruh dunia.

Bentuk virus Corona di mikroskop.
Bentuk virus Corona di mikroskop. (Sumber: NIAID-RML)

Dari sekuens tersebut, para ilmuwan mengidentidikasi 14 mutasi, meskipun D641G adalah fokus utama penelitian.

"Kabar ini sangat memukul, tapi tolong jangan berkecil hati karenanya," tulis Korber melalui akun Facebook-nya.

Meskipun begitu, studi baru ini tidak menunjukkan apakah D641G lebih mematikan atau tidak.

Tidak disebutkan pula apakah pengobatan pada pasien virus Corona awal dengan mutasinya memiliki tingkat yang sama.

Peneliti Inggris Sebut Virus Corona Lebih Berbahaya Jika Menyerang Pria dan Penderita Obesitas

Virus Corona cenderung lebih mungkin membunuh pria dan orang obesitas, menurut sebuah studi.

Dalam sebuah penelitian yang diterbitkan di medRxiv.org pada Selasa (28/4/2020) lalu, pria atau orang obesitas adalah faktor signifikan yang terkait dengan kematian di rumah sakit Inggris.

Faktor ini sebelumnya tidak terindikasi pada kasus Covid-19 di China.

"Mereka yang memiliki kondisi yang lebih buruk seringnya adalah yang berusia lanjut, pria, dan orang yang obesitas," tulis studi.

Baca: 5 Kondisi Kulit yang Dikaitkan sebagai Gejala Virus Corona

Baca: Cara Menjaga Psikologis Keluarga di Masa Pandemi Virus Corona

Dilansir SCMP, peningkatan keparahan pada pasien pria terlihat di semua usia.

"Meskipun angka kematian menurut usia banyak terjadi pada orang tua, sebagian besar pasien ini dirawat di rumah sakit dengan gejala Covid-19 dan tidak meninggal," studi mengatakan.

Para peneliti percaya, angka kematian orang obesitas lebih banyak daripada kelompok lain dalam kasus Covid-19.

Sebab, fungsi paru-paru mereka berkurang dan terjadi lebih banyak peradangan pada jaringan adiposa.

Jaringan adiposa adalah jaringan lemak yang ditemukan di bawah kulit dan di sekitar organ internal.

Kondisi ini menyebabkan reaksi yang berlebihan pada sistem kekebalan tubuh, yang berpotensi mengancam jiwa.

Ilustrasi obesitas
Ilustrasi obesitas (realityblurb.com)

Penelitian ini dipimpin oleh para profesor dari Edinburgh University, Liverpool University dan Imperial College London.

Riset didasarkan pada data yang diperoleh dari hampir 17.000 pasien Covid-19 di 166 rumah sakit di Inggris, antara 6 Februari 2020 dan 18 April 2020.

Kelompok ini mewakili hampir 15 persen dari semua orang yang telah dites positif virus Corona di Inggris dan 28 persen dari pasien rawat inap di rumah sakit.

Lebih dari setengah peserta memiliki komorbiditas, seperti penyakit jantung kronis, diabetes, dan penyakit paru kronis non-asma.

Sepertiga pasien telah meninggal.

Sementara itu, 17 persen terus menerima perawatan.

Setengah dari mereka dipulangkan.

"Penelitian kami memberikan gambaran luar biasa tentang penyakit dan faktor risiko, dan akan mendukung sejumlah besar penelitian," kata Peter Openshaw, profesor Kedokteran Eksperimental di Imperial College London.

Meskipun telah diterbitkan, penelitian ini belum ditinjau oleh rekan peneliti lain dan masih memerlukan riset lebih lanjut.

(Tribunnews.com/Citra Agusta Putri Anastasia)

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas