Masih Ada Petugas Medis di Jakarta Alami Perlakuan Buruk dari Tetangganya
Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan mengatakan, tenaga kesehatan di wilayah setempat mengalami tekanan yang cukup besar
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Stigma buruk terhadap petugas medis yang bekerja keras menghadapi pandemi virus corona atau Covid-19 masih saja terjadi.
Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan mengatakan, tenaga kesehatan di wilayah setempat mengalami tekanan yang cukup besar.
Baca: Duduk Perkara di Balik Teguran Menko PMK dan Keluhan Sri Mulyani Terhadap Anies soal Bansos
Selain tekanan karena pekerjaannya yang berhadapan dengan penyakit menular.
Mereka juga mendapat perlakuan yang kurang bersahabatan dari masyarakat di tempat tinggalnya,
“Tenaga medis ini mengalami tekanan besar dari pekerjaan, karena sudah mengenakan APD (alat pelindung diri), praktis tidak bisa lakukan apa-apa," kata Anies Baswedan
saat menerima bantuan dampak Covid-19 dari PT Repower Asia Tbk pada Selasa (5/5/2020)
"Tekanan itu juga dirasakannya, Karena tidak bisa dibuka APD itu sampai empat jam, bahkan kalau sanggup enam jam,” tambahnya.
Oleh pemerintah, kegiatan itu dipublikasikan ke melalui akun YouTube Pemprov DKI Jakarta pada Rabu (6/5/2020) kemarin.
Kata Anies, para tenaga kesehatan juga mengalami hal berat ketika berada di tempat tinggalnya.
Warga di sekitar rumahnya cenderung ‘menjauhi’ tenaga kesehatan karena tahu mereka menangani pasien Covid-19.
Karena itu, Pemprov DKI Jakarta menyiapkan 700 tempat tidur di hotel yang dikelola Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) DKI Jakarta, PT Jaktour untuk tenaga kesehatan.
“Kami ingin mengubah, bahwa tenaga medis itu bukan sebagai garda depan. Ini berbeda dengan kejadian bencana alam, bahwa garda terdepan adalah tenaga medis,” ujarnya.
“Kalau semua gagal mencegah dan jebol pertahanan (kesehatan), maka kita jadi pasien lalu masuk garda belakang. Pertahanan terakhir kita adalah tenaga medis untuk revocery (pemulihan),” tambahnya.
Baca: Rencananya TKD PNS DKI Jakarta Dipangkas 50 Persen Hingga Tiadakan THR
Berdasarkan catatannya, dokter spesialis paru-paru di Indonesia ada 800 orang. Sementara di Jakarta ada 200 orang dan merekalah yang menangani pasien Covid-19 di Jakarta.
“Jadi di Jakarta itu (dokter spesialis paru-paru) satu per empatnya dari semua spesialis paru di Indonesia,” ungkapnya.
Artikel ini telah tayang di Wartakotalive dengan judul: Tenaga Kesehatan di DKI Alami Perlakuan Kurang Bersahabat dari Tetangga
Panglima TNI Singgung Warga yang Tak Hargai Petugas Medis
Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto menyinggung masyarakat yang tidak mengapresiasi petugas medis yang tangani pasien positif terinfeksi virus corona atau covid-19.
Dalam penanganan masalah kesehatan semacam ini, menurutnya para tenaga kesehatan menjadi ujung tombak.
Baca: Masyarakat Banyak yang Stres, Pemerintah Pertimbangkan Longgarkan PSBB
Hadi mengatakan, mereka telah berjuang sekuat tenaga tidak mengenal waktu merawat para pasien Covid-19.
Menurutnya, karena sifat virus itu bahkan para dokter dan tenaga medis lainnya harus bekerja dalam kondisi yang sangat tidak nyaman selama berjam-jam menggunakan APD.
Hal tersebut disampaikan Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto saat memberikan orasi ilmiah pada acara wisuda secara daring yang diselenggarakan Universitas Sebelas Maret (UNS) pada Sabtu (2/5/2020).
"Mereka mengorbankan keselamatan dirinya sendiri untuk membantu dan melayani orang lain. Seharusnya melihat hal seperti itu masyarakat luas memberi apresiasi. Namun ternyata ada sebagian masyarakat yang bertindak sebaliknya," kata Hadi.
Selain itu Hadi juga bahkan menganalogikan kondisi saat ini dengan perang kemerdekaan.
Menurutnya, saat merebut dan mempertahankan kemerdekaan para pejuang mendapat bantuan dan dukungan dari rakyat.
Baca: Data Lengkap tentang Sebaran Covid-19 Penting untuk Pemerintah Tentukan Arah Kebijakan
Namun para tenaga medis kita yang saat ini merupakan pejuang melawan Covid-19 justru ada yang mendapatkan hal sebaliknya.
"Apakah kita sudah kehilangan semangat kekeluargaan, gotong royong dan jiwa ketimuran yang selama ini kita banggakan? Fenomena ini dapat menjadi bahan penelitan sosial. Apakah ini dampak kemajuan teknologi komunikasi melalui media sosial yang membuat kita semakin individualis?" kata Hadi.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.