Pakar Sebut Indonesia Belum Sampai Hadapi New Normal: Kita Masuk ke Dalam Ketidakpastian Baru
Sosiolog dari UNS, Drajat Tri Kartono menyebut Indonesia belum sampai kepada new normal. Menurut Drajat, Indonesia masuk ke dalam ketidakpastian baru.
Penulis: Inza Maliana
Editor: Sri Juliati
TRIBUNNEWS.COM - Pakar sosial dan politik (Sospol) dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Dr Drajat Tri Kartono MSi turut menanggapi pernyataan new normal yang disebutkan pemerintah.
Menurut Drajat, saat ini kondisi di Indonesa belum bisa sampai kepada new normal.
Justru, kata Drajat, Indonesia menghadapi sebuah ketidakpastian baru.
"Kalau dikatakan new normal, kita belum bisa sampai kepada new normal."
"Saya lebih menyebut, kita masuk ke dalam ketidakpastian baru atau new uncertainty."
"Lebaran ini kita menghadapi ketidakpastian baru, bukan new normal," jelas Drajat kepada Tribunnews, Sabtu (23/5/2020).
Baca: Hadapi New Normal, Pengunjung Wisata Candi Borobudur, Prambanan dan Boko Akan Pakai Stiker Penanda
Drajat menilai, ketidakpastian baru ini merupakan dampak dari pandemi corona yang melanda tanah air.
Pasalnya, akibat pandemi corona, kestabilan ekonomi negara semakin membuat waspada.
Ada berbagai kemungkinan yang bisa terjadi jika negara menerapkan kebijakan new normal.
Terlebih, ada desas-desus yang mengatakan mulai Juni, anak-anak sudah diizinkan untuk kembali bersekolah.
Drajat pun memberikan gambaran mengenai ketidakpastian yang akan dihadapi bangsa ini.
"Karena Juni diminta masuk, bagaimana sistem tempat duduknya, karena tidak bisa duduk berdekatan."
Baca: Gunungkidul Jelang New Normal, Protokol Kesehatan di Tempat Wisata Jadi Fokus Utama
"Apakah ruang kelas cukup? kalau tidak cukup apakah bisa menambah kelas, kalau ditambah kelas nanti guru yang mengajar bagaimana."
"Gajinya bagaimana, jadi saya lihat Indonesia dan dunia ini mengalami uncertainty," terang Drajat kepada Tribunnews melalui sambungan telepon.
Drajat mengatakan, negara Indonesia kurang tegas mengambil kebijakan terkait wabah corona.
Berbeda dengan negara sosialis dan komunis.
"Negara sosialis dan komunis berhasil mengendalikan corona di negaranya, hal itu karena ketegasan dari negara," paparnya.
Baca: Pakar Epidemiologi UI Akui Sulit Minta Masyarakat Diam di Rumah, Biarkan Latihan New Normal
Kendati demikian, Drajat tak menampik, ekonomi negara bisa sangat berdampak apabila mobilitas orang dibatasi.
Drajat pun memberi contoh, dampak ekonomi dari tutupnya satu pabrik.
"Satu pabrik berhenti saja kita kehilangan nilai pajak, penjualan, modal bank tidak berputar, dan kerugian karena berhenti berproduksi dan membayar karyawan."
"Itu baru satu pabrik, belum toko-toko lain dan para hotel," jelas Drajat.
Drajat membenarkan, lebaran yang dihadapi umat muslim saat ini dibarengi dengan kesulitan ekonomi yang tinggi.
Baca: Anies Baswedan Disindir Sudah Mulai Terapkan New Normal di Jakarta
"Kalau orang tidak boleh bepergian bagaimana, karena semua digerakkan oleh mobilitas orang," paparnya.
Oleh karena itu, Drajat menuturkan pemerintah harus segera menangani dampak ekonomi yang dihadapi bangsa akibat pandemi corona.
"Kalau tidak ditangani, masalah ekonomi ini akan jadi masalah jangka panjang."
"Virus corona mungkin tidak akan hilang karena penyakit, tapi kalau krisis moneter terjadi itu menjadi masalah yang panjang."
"Bahkan bisa menganggu stabilitas politik," imbuh Drajat.
Sebelumnya diberitakan, Presiden Jokowi mengatakan masyarakat harus bisa berkompromi, hidup berdampingan, dan berdamai dengan Covid-19 agar tetap produktif.
Alasannya, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menyatakan meski kurva kasus positif Covid-19 menurun, virus corona tidak akan hilang.
"Sekali lagi kita harus berdampingan hidup dengan Covid."
"Sekali lagi yang penting masyarakat produktif dan aman dari Covid," ujar Jokowi dalam pernyataan resminya di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (15/5/2020), dikutip Tribunnews dari Youtube Kompas TV.
Jokowi mengatakan hidup berdampingan dengan Covid-19 sama dengan menyerah melawan penyakit itu.
Namun, ia menegaskan berperang melawan Covid-19 tetap berlangsung dengan menjaga protokol kesehatan yang ketat.
Pemerintah pun akan mengatur agar kehidupan masyarakat dapat kembali berjalan normal secara bertahap.
"Kehidupan kita sudah pasti berubah untuk mengatasi risiko wabah ini."
"Itu keniscayaan. Itulah yang oleh banyak orang disebut sebagai new normal," pungkasnya.
(Tribunnews.com/Maliana)