Waspadai Mikro Droplet Sebagai Sumber Penyebaran Covid-19, Muhadjir Minta Khotbah Jumat Dipersingkat
Badan kesehatan dunia atau WHO juga sudah mengakui adanya aerosol atau partikel kecil yang menjadi sumber penularan virus corona.
Penulis: Taufik Ismail
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah kini mewaspadai mikro droplet sebagai sumber penyebaran virus corona. Partikel sangat kecil itu disebut bisa mengapung di udara selama kurang lebih 20 menit, khususnya di ruangan tertutup dan berventilasi buruk.
Hal tersebut disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy, dalam sesi tanya jawab dengan wartawan selepas mengikuti rapat terbatas di Istana Negara, Jakarta, Senin (13/7/2020).
"Mikro droplet itu adalah partikel kecil akibat kita ngomong. Kalau droplet (percikan) yang turun, tapi ini (mikro droplet) mengapung-apung, dan inilah yang berbahaya, terutama kalau dia di ruang tertutup apalagi ber-AC. Paling minim kemampuan mengapung sekitar 20 menit," kata Muhadjir, Senin (13/7/2020).
Muhadjir mencontohkan, saat ada seorang penceramah positif corona, tetapi ia tidak sadar, lalu dia berceramah selama satu jam di ruang tertutup, maka penularan virus corona bisa saja terjadi melalui mikro droplet.
"Kita bisa bayangkan berapa juta atau miliar covid beterbangan. Kemudian orang kalau enggak pakai masker bisa mengisap itu, dan itu menjadi sumber mikro droplet yang sudah disampaikan," tuturnya.
Sebelumnya badan kesehatan dunia atau WHO juga sudah mengakui adanya aerosol atau partikel kecil yang menjadi sumber penularan virus corona. Selanjutnya itu disebut mikro droplet.
Dikutip dari New York Times, dalam pedoman baru WHO terkait rute penularan virus Corona pada Kamis (9/7/2020), WHO menilai penularan virus Corona lewat udara atau airborne langka terjadi dan mungkin tidak signifikan.
Tetapi semakin banyak bukti ilmiah yang menunjukkan rute penularan Corona lewat udara atau airborne membuat kemungkinan rute penularan tersebut memiliki peran penting dalam menyebarkan virus Corona atau Covid-19.
"Beberapa kasus penularan yang terjadi dalam kerumunan di ruangan tertutup (indoor) menunjukkan kemungkinan penularan aerosol, dikombinasikan dengan penularan droplet, sebagai contoh, dalam paduan suara, di restoran, dan kelas kebugaran," tulisan WHO dalam laporannya, dikutip dari CNN.
Baca: 600 Perwira Siswa Secapa AD yang Positif Covid-19 Akan Dilibatkan dalam Uji Klinis Anti Covid-19
Baca: Anggota DPRD Makassar Ditetapkan Tersangka Dalam Kasus Pengambilan Paksa Jenazah Covid-19
Berdasarkan laporan WHO itulah, pemerintah kemudian menambah satu protokol kesehatan pencegahan virus corona, yakni menghindari kerumunan di ruang tertutup.
Anjuran ini diberikan setelah ditemukan fakta virus corona dapat menyebar di udara atau menjadi aerosol lewat mikrodroplets.
"Maka itu tambahan dari protokol kesehatan kita adalah hindari kerumunan ruang tertutup yang ventilasinya tidak cukup baik dan tidak boleh lama-lama di ruang tertutup itu," jelas Muhadjir.
Muhadjir meminta agar pertemuan di ruang tertutup dipercepat dan jumlah pesertanya dibatasi. Termasuk khotbah salat Jumat juga diminta dipersingkat.
"Oleh karena itu dalam kesempatan ini saya juga imbau setiap pertemuan tolong dibatasi, terutama yang tertutup. Agar jangan sampai mikro droplet itu tidak bisa segera ke luar dari ruangan," katanya.
"Termasuk khotbah Jumat dan lain supaya dipersingkat, termasuk bacaan-bacaan yang biasanya panjang, tolong diperpendek," jelas Muhadjir.
Tak lupa Muhadjir mengingatkan pentingnya memakai masker meski berada di ruang tertutup saat bersama orang lain.
"Semua orang kalau enggak pakai masker dan menghisap itulah jadi sumber mikrodroplets," ucapnya.
New Normal
Pada kesempatan yang sama Muhadjir juga berbicara mengenai pro dan kontra penggunaan istilah new normal di tengah wabah Covid-19.
Muhadjir menyebut, sebenarnya istilah new normal sudah tak lagi digunakan.
"New normal, setahu saya sudah dipertegas sekarang, kita tak gunakan istilah new normal. Sekarang yang baru beradaptasi kebiasaan baru. Sebetulnya kita tak usah ribut dengan istilah itu," ujar Muhadjir.
Ia menjelaskan, merujuk pada UU Nomor 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, saat ini Indonesia harusnya masuk dalam masa transisi rehabilitasi ekonomi atau transisi pra-ekonomi.
Baca: Saran Dokter Paru Soal Kemungkinan Virus Corona Menular Lewat Udara
Baca: WHO Ingatkan Pandemi Corona akan Menjadi Lebih Buruk dan Semakin Buruk
Namun, lanjut Muhadjir, UU ini sebenarnya tidak terlalu sesuai untuk menggambarkan kondisi bencana non alam seperti wabah virus corona yang terjadi saat ini.
Sehingga, untuk menetapkan istilah yang sesuai dan menggambarkan situasi saat ini, UU Penanggulangan Bencana akan segera direvisi.
Poin revisi yang krusial adalah penyesuaian dalam kondisi bencana non-alam seperti yang terjadi saat ini.
Kemungkinan, kata Muhadjir, di revisi UU yang baru, akan ditetapkan istilah yang paling sesuai untuk kondisi saat ini.
"Mungkin nanti ada istilah khusus dengan UU yang baku. Juga istilah new normal, lockdown tak sesuai UU, sehingga kalau kita gunakan harus hati-hati. Termasuk adaptasi baru," jelas Muhadjir.
Lebih lanjut, ia menjelaskan, sebenarnya istilah new normal kali pertama disinggung dalam buku The New Normal: Great Opportunities in a Time of Great Risk Hardcover, karya Roger McNamee.
Penggunaan istilah new normal di sini sama sekali tak berkaitan dengan Covid.
New normal di buku itu menjelaskan bagaimana memanfaatkan untung besar dalam kondisi krisis besar di tahun 1998. Sehingga, Muhadjir menjelaskan istilah new normal tak tepat digunakan di tengah wabah corona.
"Karena itu kita harus hati-hati, tapi juga tak dilarang. Apalagi wartawan punya kebebasan memilih diksi yang mengundang pembaca menarik perhatian," ujar dia. (tribun network/fik/dod)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.