Studi Eropa: Makan Lebih Banyak Kubis dan Mentimun Bisa Kurangi Angka Kematian Virus Corona
Peningkatan konsumsi harian rata-rata sayuran sebesar 1 gram dapat mengurangi tingkat kematian, menurut penelitian awal di Eropa.
Penulis: Inza Maliana
Editor: Muhammad Renald Shiftanto
TRIBUNNEWS.COM - Sebuah studi awal di Eropa mengakui, ada hubungan antara tingkat kematian Covid-19 dan makan sayuran tertentu.
Studi tersebut menyarankan agar pasien meningkatkan konsumsi rata-rata kubis atau mentimun sebanyak 1 gram per hari.
Pasalnya, hal itu dapat mengurangi angka kematian di suatu negara masing-masing sebesar 13,6 persen atau 15,7 persen.
Tetapi selada berpotensi memiliki efek sebaliknya.
Sementara sayuran lain tidak menunjukkan manfaat melawan penyakit corona.
Dikutip dari SCMP, hal ini dibenarkan oleh para peneliti yang dipimpin Jean Bousquet, profesor kedokteran paru di Universitas Montpellier di Prancis.
Baca: Studi Awal dari Amerika Tunjukkan Vaksin Tuberkulosis Bisa Turunkan Angka Kematian Pasien Covid-19
Studi ini, yang belum ditinjau oleh rekan sejawat, terbatas pada Eropa saja.
Adapun para peneliti mengingatkan hasilnya dapat berbeda di beberapa negara lain.
Tetapi studi ini merupakan upaya pertama untuk menghubungkan tingkat kematian dengan konsumsi makanan.
"Nutrisi tidak boleh diabaikan sebagai faktor di balik kematian Covid-19," kata Bousquet, mantan ketua Aliansi Global WHO Penyakit Pernafasan Kronis dalam surat kabar yang diposting di server preprint medRxiv.org pada Sabtu (18/7/2020).
Hingga kini Belgia, Inggris, Spanyol, Italia, Swedia dan Prancis telah mencatat angka kematian Covid-19 tertinggi di dunia.
Baca: Studi Terbaru: Herd Immunity Mungkin Tak Akan Bisa Tercapai, Antibodi Hilang dalam Beberapa Minggu
Di negara-negara ini, faktor-faktor dapat mempengaruhi kematian, seperti penegakan tindakan lockdown dan variasi iklim.
Tetapi mereka memiliki satu kesamaan, kubis dan mentimun bukan dari sebagian besar dari makanan.
Di Prancis, rata-rata orang ditemukan mengonsumsi sekitar 1 gram kubis sehari.
Sementara di lima negara lainnya, rata-rata kurang dari 5 gram sehari.
Sebaliknya, hampir 30 gram kubis dikonsumsi rata-rata per hari di Latvia, di mana angka kematian dari Covid-19 termasuk yang terendah di dunia, yaitu 16 per satu juta orang.
Para peneliti menemukan pola yang sama dalam konsumsi mentimun.
Baca: Studi Harvard: Strain Covid-19 yang Mewabah di Beijing Mungkin Berasal dari Asia Tenggara
Negara Siprus tidak makan banyak kol, tetapi lebih dari 30 gram mentimun dikonsumsi rata-rata per hari dan tingkat kematian di Siprus setara dengan Latvia.
Hal ini bisa bisa terjadi karena protein pada manusia yang disebut Nrf2.
Sars-Cov-2, virus yang menyebabkan penyakit Covid-19, dapat menyebabkan peradangan serius pada pasien yang sakit parah, termasuk menghasilkan partikel oksigen yang merusak.
Namun, Nrf2 dapat mengikat dengan partikel ini untuk mengurangi kerusakannya, adapun kubis dan mentimun termasuk kedalamnya.
Studi sebelumnya telah menyarankan sayuran memiliki senyawa alami (curcumin, sulforaphane dan vitamin D) yang dapat meningkatkan produksi Nrf2.
Menurut para peneliti Eropa, bisa diartikan orang yang lebih banyak makan mentimun dan kol bisa lebih siap untuk melawan virus.
Baca: Hasil Studi Terbaru: Golongan Darah Memang Menentukan Tingkat Keparahan Gejala Covid-19
Selada tidak termasuk yang disarankan
Namun teorinya tidak meluas ke sayuran lain yang diketahui meningkatkan produksi Nrf2.
Brokoli dan kembang kol, misalnya, tidak ditemukan memiliki manfaat apapun.
"Konsumsi rata-rata untuk brokoli dan kembang kol adalah di bawah 6 gram sehari di seluruh Eropa, yang bisa terlalu rendah untuk memberikan perlindungan," kata mereka.
Selada adalah teka-teki lain, dan salah satu yang belum dijelaskan oleh para peneliti.
Mereka menemukan negara-negara di mana lebih banyak selada dimakan seperti Spanyol dan Italia memiliki tingkat kematian Covid-19 yang jauh lebih tinggi.
Perbedaannya tidak signifikan secara statistik untuk beberapa negara.
Tetapi polanya jelas, bahkan setelah disesuaikan dengan faktor-faktor seperti PDB, kepadatan populasi, prevalensi obesitas dan distribusi usia.
(Tribunnews.com/Maliana)