Tes PCR Disebut Lebih Akurat DARI Rapid Tes, Mengapa? Ini Penjelasan Dokter Patologi Klinik
Rapid tes biasanya dilakukan sebagai skrining untuk mendapatkan hasil yang lebih cepat.Hasil swab tes dianggap lebih akurat, mengapa?
Editor: Anita K Wardhani
Laporan wartawan Wartakotalive.com, Lilis Setyaningsih
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ada dua tes yang dilakukan untuk pemeriksaan corona virus disease (Covid 19) yang biasa dilakukan yakni rapid tes dan swab tes (PCR = polymerase chain reaction).
Rapid tes yang ada di Indonesia, biasanya dilakukan sebagai skrining untuk mendapatkan hasil yang lebih cepat.
Bila hasilnya reaktif akan dilanjutkan dengan swab tes.
Hasil swab tes dianggap lebih akurat, mengapa?
Prof Dr Ida Parwati Dr SpPK(K), Phd, dokter spesialis patologi klinik dari RSUP Hasan Sadikin Bandung ini mengatakan, tes swab diambil di saluran nafas (hidung dan tenggorokan) dimana virus itu menempel di sana.
Namun tak kalah penting juga waktu perjalanan penyakit. Sehingga itulah gunanya dilakukan tes yang berulang untuk memastikan hasilnya.
Baca: Peneliti Temukan Tes Air Liur Dapat Deteksi Virus Corona, Disebut Sama Andalnya dengan Tes PCR
Baca: Kronologi Pengantin di Karanganyar Positif Covid-19 Usai Resepsi, 16 Orang Jalani Swab Test
“Pada waktu awal terkena infeksi, saat dilakukan rapid tes hasilnya negatif, tetapi ketika dilakukan PCR hasilnya positif karena virus itu sudah ada di saluran pernafasan," ,” ujar Prof Ida saat live IG di radio kesehatan, Jumat (4/9/2020).
Selanjutnya, saat swab negatif mengapa rapid positif?
"Dalam perjalanan waktu, tubuh berhasil membuat virus itu mati sehingga antibodi (darah) masih memunculkan hasil positif tapi dites PCR sudah negatif
Ia menjelaskan, rapid tes atau antibodi tes dilakukan sebagai skrining, bila hasilnya reaktif akan dilanjutkan tes PCR untuk memastikan apakah virus masih ada.
Untuk kasus tertentu dan orang dengan risiko tinggi seperti habis melakukan perjalanan zona merah dan juga pekerjaan yang risiko tinggi terkena Covid seperti petugas laboratorium dan RS, walaupun hasil rapid tes nya negative tetap harus dilakuan PCR tes untuk memastikan apakah virus corona masih ada di tubuh.
Tes Swab Kurang Nyaman, Bolehkah Sampel Hanya di Mulut atau Hidung Saja?
Tes PCR yang mengambil sampel dari hidung dan mulut dianggap sebagian masyarakat tidak menyenangkan.
Petugas yang akan mengambil sampel memasukan seperti cutton bud yang panjang lalu dimasukan ketika mulut terbuka sehingga petugas bisa menswab atau mengoles lendir yang ada di tenggorokan.
Begitu juga di hidung. pengambilan sampel lewat lubang hidung, alat seperti cutton bud dengan bulu-bulu tipis dimasukan ke lubang hidung dan diputar-putar.
Banyak masyarakat enggan melakukan tes PCR karena karena prosesnya tidak menyenangkan.
Dalam diskusi tersebut ada pertanyaan, bolehkan pengambilan sampel hanya di mulut saja atau di hidung saja.
Menurut Prof Ida, untuk menghasilkan hasil yang akurat pengambilan sampel harus dilakukan dikedua lokasi tersebut, hidung dan mulut.
Dari berbagai penelitian yang paling banyak hasil positif itu ada di bagian hidung dibandingkan di rongga mulut, karena di rongga mulut lebih banyak bakteri lain yang bisa mempengaruhi reaksi.
“Yang paling bagus diswab hidung, memang tidak menyenangkan karena sakit tapi itulah satu-satunya yang paling mudah dan aman daripada mengambil dari paru-paru. Di mulut juga harus dilakukan karena daripada harus mengeluarkan dahak. Dahak bisa menyebar ke mana-mana,” kata Prof Ida.
Selain sakit, ketika diambil sampel di hidung, juga bisa menimbulkan bersin-bersin. Hal itu normal dan bukan pertanda adanya hasil positif covid.
“Reaksi normal ketika habis swab hidung jadi bersin-bersin, karena sel-sel di hidung terganggu ketika tersentuh jadi reaksinya menjadi bersin-bersin. Tiap orang reaksinya beda-beda, terutama yang alergi biasanya jadi bersin-bersin. Tapi bukan tanda bahwa dirinya positif karena cuma dioles di permukaan saja dan tidak memasukan sesuatu,” jelas Prof Ida.
Menurutnya, saat sedang pilek juga tetap bisa dilakukan PCR tes. “Bersihkan dulu hidungnya lalu petugas bisa menswab untuk pengambilan sampel,” ujarnya.
Dua Minggu Sekali
Terutama yang bekerja di daerah risiko tinggi seperti di laboratorium, rumah sakit, atau sehabis bepergian, idealnya dilakukan tes 2x sebulan atau dua minggu sekali. Karena hal ini dilihat dari masa inkubas corona ini jangka waktunya 14 hari.
Ia meminta masyarakat yang punya kesempatan untuk melakukan PCR tes agar dilakukan.
Walaupun tidak nyaman namun hal itu bisa membuat yakin apakah tubuh kita telah terinffeksi atau tidak.
Bila hasilnya positif, kalau hanya gejala ringan, bisa melakukan isolasi mandiri di rumah, tapi bila sedang bisa ke rumah sakit umum, bila gejala berat langsung ke rumah sakit rujukan Covid 19 yang ditunjuk pemerintah.
Gejala ringan diantaranya demam, batuk kering, lelah, tapi tidak ada sesak nafas, kadang disertai juga , sakit tenggorokan, pilek dan sakit kepala.
Kategori sedang bila nafas terasa sesak saat beraktivitas, diare, mual muntah, sakit kepala, mulut kering, nafsu makan berkurang. Sementara gejala berat bila sesak nafas parah bahkan saat istirahat, demam tinggi, nyeri dada, bibir tampak kebiruan, sakit kepala berat. (lis)