Tak Lagi Jadi Jubir, Yurianto Sebut Dirinya Perawat Data Covid-19, Ini yang Dilakukan Saat Pandemi
Achmad Yurianto, memang tidak lagi sebagai Jubir Gugus Tugas covid-19. Namun,ia masih berkutat dengan cata corona. Yuri menyebut dirinya perawat data
Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Anita K Wardhani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Nama lengkapnya Achmad Yurianto, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan (Ditjen P2P Kemenkes).
Ia pernah menjadi juru bicara Gugus Tugas Covid-19. Kini tugasnya digantikan Prof Wiku Bakti Bawono Adisasmito.
Namun demimian, bukan berarti pria yang akrab disapa Yuri ini bebas dari tugasnya menangani covid-19 di Indonesia.
Seperti saat Yurianto bersedia berbiincang secara virtual bersama Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Putra dan Staf Direksi Cecep Burdansyah
Yuri mengaku belum pulang semalam.
Baca: Achmad Yurianto: Tanpa Kesehatan, Segalanya Jadi Tidak Ada Gunanya
Baca: Tanggapan Dokter Achmad Yurianto Soal Wawancara Anji dengan Profesor Penemu Obat Covid-19
Di atas meja di Ruang Kerjanya di Kantor Kementerian Kesehatan, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (9/11/2020).berserakan kertas, data-data perkembangan Covid-19 di Indonesia.
Yuri menyebut dirinya sebagai, perawat data covid-19.
"Perawat datanya covid. Saya tidur di sini semalam," ujar Yurianto kepada Tribun Network.
Yuri memaparkan apa saja yang telah dilakukan pemerintah dalam menangani Covid-19.
Berikut wawancara Tribun Network bersama Achmad Yurianto:
Upaya paling signifikan yang sudah dilakukan untuk menangani pandemi Covid-19?
Pertengahan Desember 2019 WHO sudah memperingatkan ke seluruh dunia, public health emergency.
Jadi ini darurat kesehatan masyarakat, saat itu seluruh dunia diminta memberikan perhatian terhadap Covid-19.
Public health emergency oleh international concern harus memberikan perhatian karena sangat berpotensi untuk menyebar dengan cepat bahkan bisa menjadi pandemi, dan peringatan itu terbukti.
Di Indonesia pun, kita waktu itu merespons dengan cara satu segera lakukan penguatan, pengawasan, di pintu masuk negara.
Saat itu langkah ini kita lakukan karena lotus awalnya tidak di Indonesia, dari China. Artinya tidak mungkin masuk sendiri tanpa melalui pintu masuk.
Di aspek kebijakan sudah dikatakan bahwa ini adalah kedaruratan kesehatan masyarakat.
Ini ditandai terbitnya peraturan menteri sampai peraturan presiden.
Begitu dinyatakan sebagai pandemi, maka sudah masuk di dalam kerangka UU nomor 24 tahun 2007 tentang wabah ini bencana.
Hanya kemudian pada aspek implementasi ini yang akhirnya kita gagal fokus menurut saya.
Ini kedaruratan kesehatan masyarakat, mohon maaf, bukan kedaruratan kesehatan rumah sakit.
Mestinya respon itu di hulu (masyarakat), rumah sakit itu di hilir, tetapi kita terbalik.Ini bukan saja yang terjadi di negara kita saja, di banyak negara pun juga sama.
Jadi, tidak mungkin virusnya jalan sendiri-sendiri, harus ikut tubuhnya manusia. Artinya mobilitas manusia untuk kepentingan kehidupan sosial termasuk kerja dan sebagainya, itu akan juga seiring dengan pergerakan faktor penularnya.
Ini masalah kesehatan. Saya sering katakan memang kesehatan bukan segala-galanya, tetapi tanpa kesehatan segalanya menjadi tidak ada gunanya.
Jadi tidak ada lagi sebenarnya tawar-menawar apakah ini masalah kesehatan apakah ini masalah ekonomi, tidak ada.
Kita harus menempatkan masyarakat sebagai subyek, sekaligus obyek.
Kalau kita melihat mengapa pakai masker, sebagian akan menjawab karena tidak mau didenda, bukan pakai masker karena tidak kepingin ketularan.
Satu tolak untuk mendeteksi orang yang terinfeksi adalah dengan tes PCR atau swab. Masyarakat terkadang meragukan hasil tes tersebut?
Kita harus paham ya bahwa pemeriksaan yang direkomendasikan oleh global, oleh dunia adalah pemeriksaan anti kit.
Pemeriksaan anti kit hanya bisa kita lakukan dengan metode swab.
Oleh karena itu selalu dilakukan real time PCR. Hari ini saya di tes, berarti hari ini status saya. Katakan saya di swab hari ini, hasilnya tiga hari yang akan datang dan negatif.
Apakah tiga hari yang akan datang saya negatif? Tidak ya pada saat diambil itu saya negatif. Artinya bisa saja setelah saya diambil, besoknya jadi positif.
Kalau ambil swab-nya salah, dan kalau ambil darah sih gampang lah. Kalau ini yang ambil salah, kemudian virusnya lepas, yang ambil bisa kena juga. Jadi banyak risiko, sehingga harus spesifik yang melakukan.
Hasil swab tes sebetulnya tidak terlalu akurat?
Hasil itu bisa dikatakan akurat manakala prosedurnya benar. Tetapi ingat bahwa testing, tracing, itu bicara jilid II.
Karena jilid I nya protokol kesehatan.
Apakah kita baru mematuhi protokol kesehatan, kalau kita positif, kan tidak.
Jadi ini yang harus kita luruskan bahwa masyarakat mengatakan di tempat saya tidak ada tes lah.
Sebenarnya rapid test itu perlu atau tidak?
Jadi kalau rapid test digunakan untuk diagnostic pasti tidak bisa. Karena WHO pun tidak merekomendasikan, rapid test itu kan basisnya anti body. Bukan anti kit.
Rapid test itu berbasis pada anti body. Anti body itu baru terbentuk manakala seseorang terinfeksi, dan rata-rata immunoglobulin m itu baru bisa kita deteksi setelah 6-7 hari dari hari infeksinya.
Sehingga kalau hasilnya negatif, kalau dia betul-betul tidak terinfeksi ya negatif.
Tapi kalau dalam periode 1-6 hari, jadi sebenarnya false negatif. Negatif palsu, karena respon anti body-nya belum, sebenarnya positif.
Karena rapid test di pasar kita, tidak ada satupun yang punya izin edar. Di dalam situasi bencana kalau kita lihat Undang-Undang Nomor 24 memang saran yang digunakan untuk merespon tidak perlu izin edar dulu, tapi izin untuk masuk.
Dan itu kewenangannya ada di BNPB. Ini mandat Undang-Undang ya. Artinya begitu banyak rapid test yang ada di pasaran, dicoba, kita cek kualitasnya.
Ada lebih dari 15 merek kalau tidak salah. Setelah kita cek untuk dua hal, satu sensitivitas terhadap deteksi immunoglobulin m.
Kemudian yang kedua spesifisitas kita lakukan.Kalau alat tes yang bagus, dari teman-teman Perhimpunan Dokter Patologi Klinik Indonesia mengatakan paling tidak di atas 85 persen. (tribun network/denis destryawan)