Epidemiolog Menilai Pembatasan Aktivitas di Jawa-Bali Langkah Tambahan Cegah Penularan Covid-19
Kebijakan pembatasan aktivitas di Jawa Bali direspons positif oleh Epidemiolog Indonesia di Griffith University Australia Dicky Budiman.
Editor: Anita K Wardhani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah memutuskan untuk membatasi kegiatan masyarakat di Jawa dan Bali guna mencegah penyebaran penularan Covid-19 yang semakin meningkat.
Kebijakan ini direspons positif oleh Epidemiolog Indonesia di Griffith University Australia Dicky Budiman.
Ia beranggapan, kebijakan membatasi itu merupakan salah satu langkah maju dari pemerintah di tengah situasi pandemi yang semakin tinggi.
"Adanya pembatasan Jawa-Bali ini tetap adalah satu langkah maju ya. Satu langkah yang harus kita respons positif. Sambil harus kita pahami juga bahwa ini belumlah intervensi yang ideal," kata Dicky saat dihubungi Kompas.com, Kamis (7/1/2021).
Baca juga: Kasus Covid-19 Melonjak, Jokowi Sebut Potensi Lockdown, 11 Januari Aktivitas di Jawa Bali Dibatasi
Baca juga: Airlangga Hartarto Bicara Pembatasan Sosial di Jawa Bali: Bukan Pelarangan, Masyarakat Jangan Panik
Menurut dia, idealnya suatu kebijakan pembatasan harus juga diiringi dengan 3T yang konsisten dilakukan di semua daerah.
Ia mengatakan, intervensi dari 3T yang dilakukan pemerintah yaitu testing, tracing, dan treatment sangat jauh lebih penting dari pembatasan.
"Karena PSBB sifatnya adalah strategi tambahan. Selain itu, penguatan yang dilakukan dalam 3T itu harus dilakukan di semua daerah, tidak hanya Jawa-Bali," jelasnya.
Ia menjelaskan, dari 3T tersebut setidaknya dapat menghasilkan positivity rate di satu daerah kurang dari 8 persen.
Dicky berpendapat, tidak ada cara lain yang bisa dilakukan untuk mencapai positivity rate yang ideal selain dengan menerapkan 3T.
"Kalau misalnya ada keterbatasan testing, perkuatlah screening-nya. Screening itu enggak mesti testing. Kalau ada keterbatasan testing, lakukan saja secara konvensional kedokteran, misalnya di setiap puskesmas ada klinik demam," ungkapnya.
Sebab, kata dia, gejala utama dari mayoritas kasus Covid-19 diawali dari penyakit demam ditambah gejala lainnya.
Dengan demikian, pemerintah bisa mendeteksi riwayat perjalanan, riwayat kontak, termasuk pemeriksaan fisik orang tersebut.
"Jika memang dalam pemeriksaan diduga ada penyakit Covid-19 dan tidak ada atau terbatasnya testing, langsung saja dikarantina. Itu yang akan membantu memutus mata rantai penularan Covid-19," imbuh dia.
Menurut dia, apa yang menjadi masalah saat ini adalah testing terbatas dan hasil tes yang lama keluar.