Ini Syarat Penerima Vaksin Covid-19, yang Pernah Terpapar Corona Tak Prioritas
Demi terbentuknya herd Immunity ini, diperlukan 70 persen dari jumlah penduduk yang divaksinasi. Apa saja syarat penerima vaksin?
Editor: Anita K Wardhani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Vaksin menjadi harapan baru untuk bisa lepas dari pandemi Covid-19.
Semua negara saling berlomba-lomba mendapatkan vaksin. Indonesia untuk mendapatkan herd immunity (kekebalan kelompok.
Demi terbentuknya herd Immunity ini, diperlukan 70 persen dari jumlah penduduk yang divaksinasi atau dibutuhkan lebih dari 400 juta dosis.
Cakupan harus 70 persen untuk mendapatkan kekebalan kelompok, agar 30 persen yang tidak mendapatkan vaksin bisa terlindungi.
Dengan keterbatasan vaksin, Pemerintah menurut rencana, gelombang pertama yang mendapatkan vaksin adalah para tenaga kesehatan, petugas public, serta lansia.
Presiden RI Joko Widodo jadi orang pertama yang akan mendapatkan vaksin yang rencananya 13 Januaro 2021.
DR.dr. Erlina Burhan, M.Sc, SpP mengatakan, vaksin hanyalah salah satu upaya untuk pencegahan supaya jangan jadi sakit.
Vaksin memasukan zat ke dalam tubuh seseorang untuk memicu sistem kekebalan ada.
Namun untuk bisa mendapatkan vaksin ini ada syaratnya. Berikut syaratnya:
1. Vaksin diberikan hanya untuk orang yang sehat
Tidak sedang sakit, atau punya komorbid (penyakit penyerta) berat.
Dikhawatirkan pemberian vaksin terjadi sesuatu yang merugikan diri sendiri dan system. Covid-19 merupakan hal baru walaupun sudah melalui serangkaian uji klinis untuk memastikan keamanaan, tetap saja ada kehati-hatian yang lebih.
Bila ada penyakit penyerta disembuhkan dulu penyakitnya baru dilakukan vaksinasi.
2. Diberikan Untuk usia 18-59 tahun
Pembatasan usia tersebut, karena uji coba yang dilakukan untuk vaksin Sinovac yang sudah sampai fase ketiga di usia tersebut.
Sementara Tidak ada riwayat alergi, tidak sedang demam, tidak sedang sakit infeksi saluran nafas.
Bila sedang demam diatas 37,5 derajat, vaksinasi harus ditunda dulu sampai demamnya reda, baru divaksin.
3. Kejujuran data medis
Bila memiliki alergi atau silent autoimun harus disampaikan ke petugas.
Pasalnya skrinning yang dilakukan sifatnya general, bila ada indikasi tertentu harus disampaikan.
Misalnya memiliki alergi dengan indikasi berat. Untuk menghindari kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) yang berat.
4. Lansia (lanjut usia)
Dokter Erlina mengatakan, di beberapa negara, vaksinasi didahulukan untuk lansia. Sementara di Indonesia didahulukan 18-59 tahun.
Semua orang termasuk lansia masih diskrinning lagi yang sehat.
Bila memiliki hipertensi, diabetes, dan asma sedang terkontrol.
Misalnya tekanan darah dibawah 140/90 mmHg, sementara kadar gula darah Hba1c paling tinggi 7,5%.
Bila diatas itu harus ditunda sampai terkontrol kembali. Begitu juga penyakit asma. Bila sedang serangan juga ditunda, namun bisa diberikan ketika periode tenang.
5. Diprioritaskan Petugas kesehatan dan petugas public
Di rumah sakit, tenaga kesehatan berjibaku melayani pasien, sehingga nakes harus sehat agar bisa menolong bila ada yang sakit.
“Ngga boleh iri ke nakes karena yang akan menolong pertama kali. Penolong harus sehat dulu baru bisa membantu seperti ketika di pesawat saat memakai masker oksigen, kita harus memakai maskernya dulu baru membantu menggunakan masker ke orang lain.
Selain itu karena salah satunya ketersediaan vaksin masih sedikit. Kalau tiba-tiba datang 400 juta dosis ya bisa semua langsung,” kata dokter Erlina saat menjadi pembicara dalam talkshow ‘Siapa Yang Boleh dan Tidak Boleh Divaksin Covid-19?’, Senin (11/1/2021).
6. Balilta dan bayi Belum Divaksin Covid-19
Balita dan anak-anak belum dulu sekarang. Salah satu alasaannya uji klinis untuk vaksin pada anak-anak belum selesai.
7. Punya riwayat autoimun dan kanker
Saat kanker dalam keadaan ‘tenang’ dan terkendali bisa diberikan vaksin.
Namun bila sedang masa kemoterapi atau perawatan lain yang membuat imunitas sedang turun, tidak diberikan. Karena kalau diberikan vaksinpun tidak cukup membentuk perlindungan karena lemahnya imunitas dan membuat banyak reaksi yang timbul.
8. Yang Sudah Pernah Covid-19 Tidak Diprioritaskan
Seseorang yang sudah pernah kena Covid-19 dan sembuh tidak mendapat prioritas vaksin Covid-19, alasannya sudah terbentuk antibodi.
Walaupun antibodi ini seiring dengan waktu bisa menurun. Hal ini semata-mata karena ketersediaan vaksin lebih sedikit daripada jumlah penduduk yang harus divaksin.
Bila ketersediaan vaksin sudah cukup, yang tidak prioritas baru dilakukan vaksinasi.
Ia mengatakan, penyelenggara vaksin adalah Pemerintah bekerjasama dengan fasilitas kesehatan. Sudah ada pelatihan dan system yang dibangun.
Vaksin Ada, Jangan Abaikan Protokol Kesehatan
Ia meminta jangan terlalu eforia dengan adanya vaksin.
Penerapan protokol kesehatan baik yang sudah divaksin atau yang belum masih wajib dilakukan, karena pembentukan herd immunity masih belum tercapai di awal-awal vaksinasi.
Penerapan 3M, menggunakan masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak adalah pencegahan Covid-19 yang paling murah, sederhana, dan mudah.
Bahkan vaksin saja harus butuh uang, tenaga, waktu, serta system yang teratur dulu.
“Kalau ada pencegahan yang sederhana lakukan dulu,” tegasnya.
Terlebih saat ini jumlah kasus Covid-19 masih tinggi. Bahkan perawatan di rumah sakit pun sudah menerapkan prioritas mana yang dirawat.
Bila tidak bergejala atau gejala ringan dirawat di rumah saja. Bila kategori sedang-berat baru dirawat di RS.
“Dari kasus Covid-19, yang kategori tidak bergejala-ringan jumlahnya lebih banyak, sekitar 80 persen. Namun bila kasus naik terus, jumlah yang 20 persen ini juga tidak tertampung,” katanya.
Kini jangan sampai sakit jadi keinginan semua orang.
Pencegahan dengan penerapan 3M harus dilakukan. Baik yang sudah divaksin ataupun yang belum.
Saring Informasi Soal Vaksin, Jangan Mudah Percaya Info di Grup WA
Dalam kesempatan itu, dokter Erlina meminta masyarakat agar membekali dengan informasi resmi dan terpercaya.
Bukan dari grup whatsapp atau mediasosial yang sangat mudah diedit sehingga yang sampai seringkali mengalami perubahan.
Kalau ada yang masih ragu akan vaksin, dokter dari RS Persahabatan ini yakin hanya ikut-ikutan saja.
“Yang Stubborn (kepala batu) tidak banyak, yang banyak ikut-ikutan orang yang memberikan disinformasi. Kalau lingkungan optimis dan termotivasi juga ikut.
Yang ragu-ragu biasnaya liat situasi. Untuk menghindari keraguan bekali dengan informasi yang resmi dan terpercaya,” katanya.