Soal Efektivitas Vaksinasi Covid-19, Pakar: Memang Masih Mungkin Terinfeksi, Tapi Tak Timbul Gejala
Penjelasan dr Tonang Dwi Ardyanto terkait efektifitas vaksin CoronaVac dari PT Sinovac, China di Indonesia.
Penulis: Inza Maliana
Editor: Gigih
TRIBUNNEWS.COM - Wakil Direktur Pendidikan dan Penelitian RS UNS, dr Tonang Dwi Ardyanto menjelaskan tentang efektivitas vaksinasi Covid-19 di Indonesia.
Tonang menjelaskan, vaksin CoronaVac dari PT Sinovac China yang disuntikan kepada masyarakat ini sebetulnya belum mampu mencegah penularan Covid-19.
Pasalnya, perlu waktu hingga belasan tahun untuk dapat melihat efektivitas tersebut.
Baca juga: Ini Kriteria Orang yang Tak Bisa Disuntik Vaksin Covid-19 Sinovac, Punya Penyakit Ginjal hingga Paru
Baca juga: Dibalik Nilai Efikasi yang Rendah, Ahli Epidemiologi Unair Beberkan Kelebihan Vaksin Sinovac
Namun, vaksin tersebut mampu mencegah gejala yang ditimbulkan ketika pasien terpapar virus.
Ia pun mengingatkan, vaksinasi Covid-19 menjadi penting saat ini, karena situasi dunia tengah dilanda kedaruratan akibat pandemi.
Hal itu ia sampaikan dalam tayangan Panggung Demokrasi: Efektivitas Vaksinasi Covid-19 di Indonesia bersama Tribunnews.com, Rabu (20/1/2021).
"Karena dalam situasi pandemi ini, proses penelitian itu diringkas hanya menjadi 1 sampai 1,5 tahun saja."
"Jadi saat ini vaksin Covid-19 produksi Sinovac memang masih dalam tahap mampu mencegah sakit."
"Artinya (masyarakat, red) masih bisa terinfeksi tapi tidak menimbulkan gejala," ujar Tonang.
Baca juga: Istana Yakin Kemenkes dan BPOM akan Evaluasi Penggunaan Vaksin Pfizer
Baca juga: Nasib Anggota Fraksi PDIP Ribka Tjiptaning Setelah Menolak Vaksin Covid-19 Sinovac
Untuk itu, Tonang mengingatkan agar masyarkat tetap taat pada protokol kesehatan meski telah menerima suntikan vaksin Covid-19.
Sebab, vaksin Covid-19 dari PT Sinovac ini belum mampu mencegah penularan virus corona.
Namun, Tonang mengatakan, seseorang yang telah menerima suntikan vaksin akan lebih 'tahan' terhadap paparan virus.
Ia pun kemudian membandingkan kelompok yang sudah divaksin dan belum divaksin ketika menerima 'serangan' virus.
Menurutnya, kelompok orang yang sudah divaksin memiliki 'perisai' ganda di dalam tubuh untuk melawan virus.
Sementara, kelompok orang yang tidak divaksin bisa lebih mudah tertular Covid-19 karena hanya memiliki satu 'perisai'.
Baca juga: Vaksin Covid-19 Gratis! Cek Penerima Akses pedulilindungi.id/cek-nik, Siapkan NIK KTP
Baca juga: Erick Thohir Jamin Tak Ada Cip di Dalam Vaksin Tapi Barcode yang Tertera, Ini Fungsinya
"Kelompok divaksin sama kelompok yang tidak vaksin sama-sama sudah punya perisai yaitu imunitas bawaan."
"Nah orang yang sudah divaksin itu dapat tambahan lagi perisainya jadi 3, sementara orang yang gak divaksin punya 1 perisai."
"Jadi kalau yang tidak divaksin begitu virus masuk mudah ditembus karena hanya punya 1 perisai," ujar Tonang.
Keunggulan Vaksin Sinovac menurut Epidemiolog
Sebelumnya diberitakan, Pakar Epidemiologi Universitas Airlangga Surabaya, Dr dr M Atoillah Isfandiari MKes membeberkan sejumlah kelebihan dari vaksin Covid-19 keluaran Sinovac.
Keunggulan ini terlepas dari nilai efikasi vaksin Sinovac yang jauh lebih rendah dibanding vaksin lainnya.
Sebelumnya, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melaporkan vaksin Sinovac memiliki efikasi vaksin sebesar 65,3 persen.
Kelebihan vaksin Sinovac pertama menurut Ato terletak di bagian efek samping dari vaksin itu tercatat kurang dari 1 persen. Artinya, memiliki safety sangat tinggi.
"Beda dengan yang lain walaupun efikasinya 90 persen tetapi menggunakan teknologi baru yaitu mRNA."
"Teknologi baru di sisi lain dalam jangka pendek mungkin bisa diamati dampaknya pada saat uji klinis."
"Jangka panjang mereka belum tahu karena ini adalah platform baru," papar Ato, Kamis (14/1/2021), dikutip dari Surya.co.id.
Vaksin Sinovac juga relatif mudah disimpan, maupun logistiknya tidak membutuhkan cold chain atau rantai dingin yang canggih seperti vaksin Pfizer yang membutuhkan penyimpanan minus 70 derajat.
Yakni, dengan disimpan di dalam kulkas biasa saja masih dapat memungkinkan.
Ato juga menuturkan, bahwa dikeluarkannya ijin pakai darurat oleh BPOM karena melihat semakin banyak korban Covid-19 berjatuhan.
Sementara, waktu ideal yang dibutuhkan adalah 6 bulan untuk pemantauan agar mengetahui efek samping pasca uji klinis dilakukan.
"Jadi, uji klinis fase 3-nya sudah selesai, sehingga data-data yang dicatat selama pelaksanaan uji klinis hasilnya bisa diperoleh dan dianalisis."
"Uji klinis sudah selesai hanya versi pemantauan pasca ujinya itu yang kemudian kita tunggu dengan pertimbangan bahwa selama uji mulai ke-1 sampai ke-3 laporan terkait dengan keamanan dan efikasi sudah didapatkan,” tuturnya.
(Tribunnews.com/Maliana, Surya.co.id/Sulvi Sofiana)