Epidemiolog Unair: PPKM Mikro Itu Gagal, Kenapa Tidak Berani Mengakui?
Epidemiologi dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, dr Windhu Purnomo, angkat bicara soal kebijakan penebalan PPKM Mikro.
Penulis: Wahyu Gilang Putranto
Editor: Sri Juliati
TRIBUNNEWS.COM - Pakar Epidemiologi dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, dr Windhu Purnomo, menilai Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro tidak efektif dan gagal.
Hal itu diungkapkan Windhu merespons kebijakan pemerintah yang memberlakukan penebalan PPKM Mikro 22 Juni hingga 5 Juli 2021.
"Sudahlah, PPKM Mikro itu sudah terbukti tidak efektif, gagal. Kenapa sih kita nggak berani ngomong gagal? Gagal itu," ungkap Windhu saat dihubungi Tribunnews, Senin (21/6/2021) malam.
"Apa buktinya gagal? Buktinya ini (terjadinya) peningkatan kasus," sambungnya.
Baca juga: Penebalan PPKM Mikro se-Indonesia 22 Juni sampai 5 Juli, Resto hingga Kaki Lima 25 Persen Kapasitas
Windhu tidak setuju dengan adanya zonasi di tingkat bawah, seperti RT atau RW.
"Kalau dalam artian PPKM Mikro itu dalam pemberdayaan masyarakat, seperti kampung tangguh, itu oke, setuju."
"Tapi kalau pengertiannya di situ (penebalan PPKM Mikro) ada pengzonasian RT RW, itu ngawur," ungkapnya.
Alasan Windhu tak setuju dengan pemberian zonasi wilayah secara mikro ialah testing dan tracing yang sangat rendah.
Sehingga, Windhu berpendapat jika kasus yang dilaporkan saat ini jauh di bawah kasus yang sebenarnya ada alias under recorder.
"Kasus di Indonesia itu sangat under recorded, hari ini rekor baru, dan tembus 2 juta (kasus), tapi apa cuma segitu sebetulnya?"
Baca juga: Update Corona Jakarta: 5.014 Kasus Baru dan Pembatasan 10 Titik
"Kalau diestimasi, Kemenkes punya data zero surveillance, didanai WHO (Badan Kesehatan Dunia) dan dibantu temen-temen UI (Universitas Indonesia)."
"Saya juga ngitung dengan teknis estimasi, kasus yang dilaporkan paling tinggi 1/8 dari kasus yang sebetulnya," urai Windhu.
Windhu menyebut kasus yang dilaporkan bagaikan puncak gunung es.
"Seperti banyak bara di bawah sekam, jadi bom waktu karena penularan ada di bawah permukaan yang tidak terdeteksi," ungkapnya.