Anggota Komisi I DPR RI Sebut Indonesia Pilih Kolaborasi Hadapi Pandemi Covid-19
Penelusuran asal usul virus Covid-19 masih menjadi isu hangat di dunia internasional.
Penulis: Reza Deni
Editor: Adi Suhendi
Laporan Reporter Tribunnews.com, Reza Deni
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penelusuran asal usul virus Covid-19 masih menjadi isu hangat di dunia internasional.
Hal ini bahkan menjadi bahan politisasi yang memicu ketegangan dua raksasa internasional yaitu China dan Amerika.
Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi NasDem Muhammad Farhan mengatakan hal tersebut masih relevan hingga sekarang.
"Teknologi untuk menghadapi Covid-19 ini kan dari kedua negara itu. Bukan masalah orang menjadi sakit kemudian dikuasai, tetapi bagaimana kedua negara ini memiliki tingkat persaingan luar biasa," kata Farhan kepada wartawan, Selasa (17/8/2021).
Adapun nuansa politisasi dikatakan Farhan sudah muncul sejak pecahnya epidemi di mana Amerika Serikat mulai menyebarkan isu terkait asal usul virus bahwa virus tersebut bocor dari laboratorium di Wuhan, China.
Namun, berdasarkan penelusuran tahap pertama WHO menunjukkan bahwa virus tersebut sangat tidak mungkin bocor dari laboratorium China.
"Sekarang levelnya sudah masuk di mana level persaingan internasional ke narasi jangan-jangan virus ini sengaja dibuat hasil rekayasa kemudian disebarkan," katanya.
Baca juga: Gubernur Jabar: Perang Melawan Covid-19 Belum Berakhir, Masih Banyak Pekerjaan
Setidaknya, Farhan menyebut sampai saat ini lanjut dia belum pernah ada kesimpulan yang akurat mengenai asal usul virus.
"Kalau ternyata terbukti dari Cina, terus apa dampaknya? Apakah artinya bisa jadi Cina akan bilang: Iya memang itu datang dari saya, artinya apa? Obat yang paling ampuh datangnya dari Cina juga," katanya.
Adapun Indonesia, Farhan menegaskan tidak akan terjebak dalam politisasi tersebut.
Keberhasilan mengatasi pandemi adalah kerjasama dunia internasional untuk saling membantu.
Indonesia, dikatakan Farhan, tidak condong berada di salah satu pihak dan lebih cenderung melakukan kolaborasi dengan kedua negara tersebut.
"Kalau untuk pandemi memang kita mau tidak mau melihat mana benefit yang paling menguntungkan. Secara hitung-hitungan biaya maupun teknologi, pilihan Sinovac itu paling benar karena Sinovac mengizinkan memproduksi dan memperbanyak di Indonesia. Itu nilainya sangat tinggi," katanya.
Meskipun demikian, Farhan menyebut ada keanehan ketika negara-negara di Eropa belum mau mengakui Sinovac dalam persyaratan keluar masuk orang asing.
Baca juga: Kronologi Oknum Polisi Mengamuk di RS Bawa Senpi, Sebut Mertuanya Meninggal Dicovidkan
"Mungkin di sisi ini kita tidak terlalu baik menjalin kerja sama dengan Amerika. (Vaksin) buatan mereka di kita hanya Moderna dan AstraZeneca dan itu pun diberikan hanya dalam bentuk bantuan," ujarnya.
Namun, Farhan mengatakan Indonesia tetap berhubungan baik dengan Amerika dalam bentuk militer.
"Kita belum punya kerja sama militer yang signifikan dengan Cina. Kita punya hubungan yang sangat baik dengan Amerika. Jadi artinya kita tidak bisa melihat hanya dari satu isu saja. Kolaborasi memang sangat penting," kata Farhan
Sebelumnya, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) baru saja menanggapi kekhawatiran China terkait penyelidikan yang menyoroti 'hipotesis Laboratorium Wuhan' tentang asal mula pandemi virus corona (Covid-19).
Organisasi itu mengatakan bahwa tidak ada yang bermain politik dalam proses penyelidikan ini, namun mencari data yang diperlukan dan mengikuti sains.
Dalam sebuah pernyataan yang dirilis pada hari Kamis kemarin, WHO meminta pemerintah di seluruh negara untuk mendepolitisasi situasi dan bekerja sama dalam mengembangkan kerangka kerja bersama terkait patogen potensial pandemi yang muncul di masa depan.
"Mencari asal usul patogen baru adalah proses yang sulit, yang didasarkan pada sains, dan membutuhkan kolaborasi, dedikasi, dan waktu," kata WHO.
Baca juga: Kejar Pertumbuhan Ekonomi 4 Persen, Kasus Covid-19 Aktif Ditagetkan Turun Akhir September
Lembaga itu menegaskan bahwa pencarian asal-usul virus SARS-CoV-2 yang menjadi penyebab penyakit Covid-19 tidak boleh menjadi ajang percobaan untuk menyalahkan, menuding, atau menilai poin politik.
"Penting untuk mengetahui bagaimana pandemi dimulai, ini untuk memberikan contoh dalam menetapkan asal usul semua peristiwa limpahan dari hewan ke manusia di masa depan," jelas WHO.
Organisasi kesehatan yang berbasis di Jenewa, Swiss itu tampaknya mendukung hipotesis asal zoonosis.
WHO bahkan menekankan kepada China untuk merilis informasi yang berkaitan dengan Institut Virologi Wuhan (WIV), meskipun negara itu menolak untuk turut berpartisipasi dalam penyelidikan tahap dua.
"Akses ke data sangat penting untuk mengembangkan pemahaman kita tentang sains dan tidak boleh dipolitisasi dengan cara apapun," tegas WHO.
Dikutip dari laman Russia Today, Jumat (13/8/2021), pada Juli lalu, China menolak penyelidikan fase kedua WHO dengan alasan 'melawan sains'.
Direktur Lab Biosafety di Institut Virologi Wuhan, Yuan Zhiming mengatakan pada saat itu bahwa WIV 'tidak pernah merancang, membuat, atau membocorkan virus corona baru'.
Menanggapi kekhawatiran China, WHO mengatakan bahwa studi awal yang dilakukan pada Maret lalu menemukan 'tidak ada bukti ilmiah yang cukup untuk mengesampingkan hipotesis manapun'.
Untuk mengetahui apakah asal usul virus itu berasal dari 'teori laboratorium', penting untuk memiliki akses ke semua data serta mempertimbangkan praktik terbaik ilmiah dan mekanisme yang telah dimiliki WHO.
WHO mencatat bahwa Italia bahkan telah membagikan data mentah dan memberikan izin untuk menguji ulang sampelnya di luar negeri.
"Ini mencerminkan 'solidaritas ilmiah terbaik' dan ini tidak berbeda dengan apa yang kami dorong ke semua negara, termasuk China, untuk mendukung penyelidikan ini, sehingga kami dapat memajukan studi asal-usul dengan cepat dan efektif," papar WHO.
Begitu pula Rusia dan Amerika Serikat (AS) yang menyimpan sampel cacar, satu-satunya virus manusia yang pernah diberantas di laboratorium yang aman, dua negara ini tunduk pada inspeksi yang dilakukan setiap dua tahun.
"Menganalisis dan meningkatkan keamanan laboratorium serta protokol di semua laboratorium di seluruh dunia, termasuk di China, penting untuk keselamatan dan keamanan kita bersama," tutur WHO.
Direktur Jenderal WHO Tedros Adhenom Ghebreyesus pun meminta semua negara terbuka terhadap data yang mereka miliki.
"Organisasi ini berkomitmen untuk mengikuti sains, dan meminta semua pemerintah untuk mengesampingkan perbedaan dan bekerja sama untuk menyediakan semua data dan akses yang diperlukan, sehingga rangkaian studi berikutnya dapat dimulai sesegera mungkin," kata Tedros.
Virus SARS-CoV-2 kali pertama didokumentasikan secara resmi di kota Wuhan, China pada Desember 2019, namun sumber pasti infeksi ini tetap menjadi misteri hingga saat ini.
China tidak hanya menolak teori yang menyebut bahwa virus itu mungkin telah ditularkan dari hewan ke manusia di 'pasar basah' Wuhan.
Namun juga membantah tudingan yang mengatakan bahwa virus tersebut 'bocor' dari Institut Virologi Wuhan, baik sengaja maupun tidak sengaja.
Sedangkan beberapa Analis intelijen AS bersama dengan House Republicans di Kongres, meyakini ada 'banyak bukti' yang menunjukkan bahwa virus itu lolos dari WIV pada September 2019.
Hingga saat ini, sebanyak lebih dari 205 juta orang telah terkonfirmasi positif Covid-19 sejak WHO menyatakan pandemi pada Maret 2020, 4,33 juta diantaranya meninggal.