CEO BioNTech Prediksi Formula Vaksin Baru Mungkin Diperlukan pada 2022
Kendati demikian, tingkatannya turun drastis mencapai hampir sepuluh kali lipat dalam waktu tujuh bulan setelah penerimaan dosis kedua.
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, MAINZ - Sebuah studi baru menemukan bahwa mereka yang diberikan dua dosis penuh vaksin virus corona (Covid-19) Pfizer-BioNTech memiliki antibodi penetralisir tingkat tinggi untuk memerangi varian asli penyakit menular.
Kendati demikian, tingkatannya turun drastis mencapai hampir sepuluh kali lipat dalam waktu tujuh bulan setelah penerimaan dosis kedua.
Dikutip dari laman Sputnik News, Senin (4/10/2021), salah satu Pendiri sekaligus Kepala Eksekutif BioNTech, Uğur ahin mengatakan dalam sebuah wawancara baru-baru ini bahwa meskipun varian Covid-19 saat ini mirip seperti strain Delta yang memiliki sifat sangat mudah menular namun tidak mungkin untuk merusak formula vaksin asli.
"Tahun ini (vaksin yang berbeda) sama sekali tidak dibutuhkan namun pada pertengahan tahun depan, situasinya bisa saja berbeda. Ini adalah evolusi berkelanjutan dan evolusi itu baru saja dimulai," kata Ahin.
Baca juga: AS Sumbangkan 8 Juta Lebih Dosis Vaksin Covid-19 Pfizer-BioNTech ke Bangladesh dan Filipina
BioNTech merupakan perusahaan yang berbasis di Jerman yang mengembangkan vaksin Covid-19 bersama perusahaan farmasi asal Amerika Serikat (AS) Pfizer Inc.
Perusahaan baru-baru ini menyerahkan data kepada regulator AS terkait penggunaan vaksinnya pada anak-anak berusia 5 hingga 11 tahun.
Karena semakin banyak yang dipelajari tentang pertahanan terbaik dalam melawan varian Covid-19 yang muncul, penelitian terkait pada vaksin Pfizer-BioNTech tampaknya menunjukkan bahwa peserta mengalami penurunan antibodi yang cukup besar dalam beberapa bulan pertama.
"Studi kami menunjukkan vaksinasi dengan vaksin Pfizer-BioNTech menginduksi antibodi penetralisir tingkat tinggi terhadap jenis vaksin asli, namun tingkat ini turun hampir 10 kali lipat dalam tujuh bulan," kata Peneliti Bali Pulendran dari Universitas Stanford dan Mehul Suthar dari Emory University.