Soroti SE Kemenkes soal Tarif Tes PCR, Alvin Lie: Tak Bisa Jatuhkan Sanksi Bagi Pelanggar
Kemenkes menurunkan tarif Tes PCR menjadi Rp 275 ribu untuk Jawa dan Bali dan Rp 300 ribu untuk luar Jawa dan Bali.
Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah menurunkan tarif Tes PCR menjadi Rp 275 ribu untuk Jawa dan Bali serta Rp 300 ribu untuk wilayah luar Jawa dan Bali.
Eks Komisioner Ombudsman RI Alvin Lie pun menanggapi perihal ketentuan tarif baru Tes PCR tersebut.
Menurut Alvin, aturan yang dibuat Kemenkes melalui surat edaran (SE) Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan nomor HK.02.02/1/3843/2021 tentang Batas Tarif Tertinggi Pemeriksaan RT-PCR itu tak kuat secara aturan.
Kata dia, sebaiknya Kemenkes dan Pemerintah Daerah (Pemda) menyediakan saluran pengaduan apabila terdapat pelayanan kesehatan yang tak sesuai dengan aturan SE tersebut.
Hal itu disampaikan Alvin melalui akun media sosial twitternya pada Jumat (29/10/2021) malam.
"Sebaiknya @KemenkesRI dan setiap Pemda sediakan saluran pengaduan, memudahkan publik laporkan pelanggaran," twit Alvin.
Baca juga: Di Jakarta Masih Ada Tes PCR Bertarif Rp 400 Ribu
Tribunnews.com telah mengkonfirmasi dan meminta izin untuk mengkutipnya, Sabtu (30/10/2021).
Alvin lalu menpertanyakan SE Kemenkes itu apakah bisa dijadikan untuk menjatuhkan sanksi bagi para pelanggarnya.
Nyatanya, kata Alvin, SE tidak ada dalam hirarki tata perundang-undangan di Indonesia.
"SE Kemenkes juga tidak menyebut sanksi bagi pelanggar," tulis Alvin lagi.
Saat dihubungi, Alvin menjelaskan hirarki tata perundang-undangan di Indonesia yang tertinggi adalah UUD 1945, dibawanya ada UU, kemudian Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres) dan Peraturan Menteri (Permen).
"SE tidak bisa digunakan sebagai landasaan untuk menjatuhjan saksi karena karena bukan peraturan perundang-undangan," kata Alvin.
Selain itu, mantan Anggota DPR RI periode 2004-2009 ini menjelaskan batas maksimal tarif tes PCR ini juga sudah terbukti ketika pemerintah menurunkan harga Rp 900 ribu kemudian ke Rp 500 ribu.
Namun, tetap saja banyak penyelenggara pelayanan yang memberlakukan biaya di atas itu.
"Toh, pemerintah tidak bisa apa-apa. Ya bikin stetmen akan ditindak atau sebagainya, toh buktinya tetap saja berlaku itu, tidak bisa apa-apa. Kemudian tidak ada standar pelayanannya," terangnya.
Ia juga menyoroti soal banyaknya penyelenggara tes Covid-19 misalnya tes antigen sebesar Rp 95 ribu. Tetapi jika membutihkan surat keterangan harus menambah biaya Rp 50 ribu. Begitu juga tengan tes PCR.
"Demikian juga kecepatan hasil keluar, kalau mau Rp 500 ribu kemarin ini 24 jam atau bahkan 2 hari baru keluar. Kalau mau cepat Rp 1 juta sampai Rp 1,5 juta," ucapnya.
"Toh pemerintah tidak bisa apa-apa," jelasnya.
Untuk itu, Alvin memberi saran jika pemerintah serius mengendalikan tarif pelayanan tes PCR maupun antigen perlu disediakan saluran pengaduan masyarakat.
Sehingga, ketika masyarakat dihadapkan pada penyelenggara tes yang tidak sesuai standar pelayanan dan biaya itu, tau kemana mengadunya. Karena, saat ini masyatakat tidak tahu harus kemana mengadu.
"Kepada Pemda, Pemda yang mana. Dinas mana? Kepada pemeritah pusat, lewat apa, ke alamat mana, ke nomor telepon apa, itu tidak ada," kata Alvin
"Jadi masyarakat ini tidak diberi saluran pengaduan, ya sudah menjadi korban saja. Pemerintah pun mengaturnya hanya dengan SE yang lemah tidak ada dalam tata perundangan-undangan di negeri ini," terangnya.