Berdasar Hipotesa, Sekjen Gakeslab Sebut PCR Tak Perlu Jadi Syarat untuk Penumpang Pesawat
Septian menambahkan pertimbangan lainnya terkait negara-negara lain yang mengalami peningkatan kasus yang luar biasa akibat varian Delta.
Penulis: Rizki Sandi Saputra
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Reporter Tribunnews.com, Rizki Sandi Saputra
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sekretaris Jenderal (Sekjen) Perkumpulan Organisasi Perusahaan Alat-Alat Kesehatan dan Laboratorium Indonesia (Gakeslab) Randy H. Teguh turut menyoroti terkait polemik persyaratan tes PCR untuk penumpang pesawat.
Randy mengungkapkan kalau pesawat terbang merupakan satu dari beberapa akomodasi atau alat transportasi yang memiliki penularan virus Covid-19 paling rendah.
Hal itu dia ungkapkan berdasarkan penjelasan seorang epidemiolog dari Griffith University's yang tak disebutkan namanya.
"Kalau saya boleh kutip disampaikan oleh epidemiolog dari Griffith university, tapi saya lupa namanya, dikatakan bahwa di pesawat itu paling rendah penularan (Covid-19) -nya karena di pesawat sudah ada hepa filter ya," kata Randy saat diskusi bersama KADIN secara daring, Jumat (12/11/2021).
Baca juga: Harga PCR Tuai Polemik, Pemerintah Diminta Libatkan Penyedia Faskes Swasta Saat Ambil Kebijakan
Tak hanya itu, Randy juga mengatakan selama Indonesia mengalami puncak gelombang kedua kasus Covid-19 beberapa bulan lalu, tingkat penularan di dalam pesawat juga memiliki rasio yang kecil.
Bahkan kata dia, rasio perbandingannya satu kasus berbanding 20 juta penumpang.
"Lalu juga datanya yang ada selama kasus tinggi itu kalau gak salah rasionya 1 kasus penularan dari sekitar 20 juta penumpang sehingga itu kan rasionya sangat kecil ya," bebernya.
Lebih jauh pria yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Komite Tetap Farmasi dan Alat Kesehatan KADIN itu mengatakan, saat kasus penularan tertinggi di gelombang kedua itu, penumpang pesawat hanya diminta untuk menunjukkan hasil tes swab antigen.
Hal itu disebut sebagai hipotesa kalau tes PCR dinilai tidak seharusnya menjadi syarat masyarakat untuk dapat menggunakan layanan pesawat.
"Pada saat gelombang kedua di Indonesia di mana kasus tertinggi 50 ribu pada saat itu juga pemakaian tes untuk naik pesawat hanya antigen, toh buktinya sekarang turun, artinya kan jangan-jangan... ya nanti dibutktikan secara ilmiah tapi secara hipotesanya antigen juga cukup tidak perlu PCR itu tadi," tukasnya.
Sebelumnya, Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi, Septian Hario Seto menjelaskan alasan pemerintah sempar mewajibkan tes PCR bagi penumpang pesawat di tengah penurunan kasus Covid-19.
Septian yang juga mantan Staf Khusus Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan, ini mengatakan bahwa kebijakan itu diambil dengan banyak pertimbangan.
Yakni terkait data yang menunjukkan peningkatan risiko penularan.
Ia mengatakan 1 hingga 2 minggu sebelum kebijakan PCR untuk penumpang pesawat ini diberlakukan, pihaknya melihat peningkatan risiko tersebut.
"Indikator mobilitas yang kami gunakan menunjukkan peningkatan yang signifikan. Contohnya di Bali, data mobilitas minggu ketiga Oktober 2021 menunjukkan level yang sama dengan liburan nataru tahun 2020," kata Septian dalam tertulisnya yang diterima Tribunnews, Selasa (9/11/2021).
Lalu hasil pengecekan tim yang dikirim terjadi penurunan disiplin protokol kesehatan yang luar biasa.
PeduliLindungi hanya sebagai pajangan terutama di tempat-tempat wisata dan bar.
"Bahkan salah satu tim saya berhasil memfoto pasangan yang bebas berciuman di dalam salah satu bar/café di Bandung," ujarnya.
Septian menambahkan pertimbangan lainnya terkait negara-negara lain yang mengalami peningkatan kasus yang luar biasa akibat varian Delta.
Menurutnya, akibat relaksasi aktivitas dan protokol kesehatan karena merasa tingkat vaksinasi dosis kedua sudah diatas 60 persen.
Contohnya, kata Septian, seperti Singapura, Jerman, Inggris dan beberapa negara lain.
Lalu bagaimana dengan Indonesia?
Ia menyebut, bahwa tingkat vaksinasi dosis 2 Indonesia saat ini baru sekitar 36 persen, dan sudah melakukan relaksasi aktivitas masyarakat secara luas.
Namun, ketika saat ini kita melihat protokol kesehatan sudah menurun signifikan tentu saja melihat ada peningkatan resiko kenaikan kasus.
"Vaksinasi tidak sepenuhnya bisa mencegah penularan kasus. Mudah untuk mengambil kesimpulan ini, karena negara-negara yang saya sebutkan diatas memiliki cakupan dosis 2 diatas 60 persen," ujarnya.
Septian mengatakan, vaksinasi akan mengurangi resiko jika terkena Covid-19 harus dirawat di RS, muncul gejala atau bahkan kematian.
Namun, penerima vaksin masih bisa terkena Covid-19, tidak bergejala, dan masih menularkan ke pihak lain.
"Ada banyak riset ilmiah yang mendukung hal tersebut," jelasnya.