Sudah Ada 254 Kasus Omicron di Indonesia, Ini Gejala yang Paling Banyak Dialami Pasien
Kasus Covid-19 Omicron mencapai 254 kasus per Selasa (4/1/2022). Untuk gejala yang dialami pasien Omicron, sebagian besar ringan dan tak bergejala.
Penulis: Arif Tio Buqi Abdulah
Editor: Whiesa Daniswara
TRIBUNNEWS.COM - Kasus Covid-19 Omicron telah mencapai 254 kasus per Selasa (4/1/2022).
Penambahan kasus terbaru ada sebanyak 92 kasus pada Selasa kemarin.
Dari 254 kasus tersebut, 239 kasus di antaranya berasal dari pelaku perjalanan internasional (imported case) dan 15 kasus transmisi lokal.
Adapun untuk gejala yang dialami oleh pasien Omicron, sebagian besar kondisinya ringan dan tanpa gejala.
Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kementerian Kesehatan, dr. Siti Nadia Tarmizi mengungkapkan, gejala paling banyak adalah batuk sebanyak 49% dan pilek 27%.
“Mayoritas (penularan) masih didominasi pelaku perjalanan luar negeri. Dari hasil pemantauan, sebagian besar kondisinya ringan dan tanpa gejala. Gejala paling banyak adalah batuk (49%) dan pilek (27%),” kata dr Nadia dalam keterangannya, dilansir laman Kemenkes.
Baca juga: Varian Omicron Dapat Kurangi Akurasi Alat Deteksi Covid-19 Rapid Antigen
Baca juga: WHO: Banyak Bukti yang Menunjukkan Gejala Lebih Ringan pada Varian Omicron
Sebelumnya, pada Senin (4/1/2021) pemerintah mencatat ada sebanyak 152 kasus Omicron di Indonesia.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, pasien Omicron tersebut sejauh ini tidak ada yang menbutuhkan perawatan serius di RS, cukup diberi obat dan vitamin.
Bahkan tingkat saturasi oksigen penderita Omicron masih terbilang tinggi, yakni diatas 95 persen.
“Dari 152 kasus yang masuk ke Indonesia, setengahnya tanpa gejala setengahnya lagi sakit ringan, mereka tidak butuh oksigen dan saturasinya masih di atas 95%. Sekitar 23% atau 34 orang sudah kembali ke rumah," kata Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam keterangan pers di Jakarta pada Senin (3/1/2022).
Antisipasi Lonjakan
Meski begitu, pemerintah telah melakukan antisipasi kemungkinan situasi terburuk jika terjadi lonjakan kasus seperti halnya saat serangan varian Delta pada pertengahan 2021 lalu.
Salah satu hal yang disiapkan yakni ketersediaan tempat tidur rumah sakit di seluruh Indonesia.
Berdasarkan pengalaman saat menangani lonjakan kasus akibat varian Delta, pemerintah juga menyiapkan kebutuhan oksigen medis.
Menkes menuturkan, dalam situasi normal kebutuhan oksigen Indonesia mencapai 700 ton per hari dan saat terjadi lonjakan kasus Covid-19 sebelumnya naik menjadi 2.200 ton per hari.
Hal itu pun telah diantisipasi pemerintah jika terjadi lonjakan kasus.
Tak hanya itu, pemerintah juga menyiapkan kebutuhan obat-obatan untuk pasien Covid-19.
Pemerintah mendatangkan obat molnupiravir, obat yang disebut mampu mengurangi laju masuknya pasien ke rumah sakit bagi mereka yang terkena Covid-19 dengan saturasi oksigen di atas 94 persen.
Menkes mengimbau seluruh masyarakat untuk terus menerapkan protokol kesehatan secara baik dan disiplin serta menggunakan aplikasi PeduliLindungi untuk memudahkan proses penelusuran kasus.
“Yang penting protokol kesehatan harus dilakukan dengan baik. Juga gunakan Pedulilindungi dengan disiplin, dengan begitu kita bisa trace," jelas Menkes.
Baca juga: Setiap Kontak Erat Kasus Omicron Wajib Karantina 10 Hari
Baca juga: Penularan Omicron Semakin Luas, Capai 254 Kasus, Ini Upaya Pemerintah Menanganinya
Surat Edaran Baru
Sebagai bentuk kesiapsiagaan dalam mencegah serta mengendalikan penularan varian Omicron, Kemenkes juga telah menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor HK.02.01/MENKES/1391/2021.
Surat tersebut berisi tentang Pencegahan dan Pengendalian Kasus COVID-19 Varian Omicron (B.1.1.529) dan ditandatangani Menteri Kesehatan pada 30 Desember 2021.
Terbitnya aturan ini untuk memperkuat sinergisme antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, fasilitas pelayanan kesehatan, SDM Kesehatan dan para pemangku kepentingan lainnya sekaligus menyamakan persepsi dalam penatalaksanaaan pasien konfirmasi positif Covid-19.
Selain itu, Kemenkes juga mendorong daerah untuk memperkuat kegiatan 3T (Testing, Tracing, Treatment), aktif melakukan pemantauan apabila ditemukan cluster-cluster baru COVID-19 dan segera melaporkan dan berkoordinasi dengan pusat apabila ditemukan kasus konfirmasi Omicron di wilayahnya.
“Poin utama dari aturan ini untuk memperkuat koordinasi pusat dan daerah serta fasyankes dalam menghadapi ancaman penularan Omicron. Mengingat dalam beberapa waktu terakhir kasus transmisi lokal terus meningkat. Karenanya kesiapan daerah dalam merespons penyebaran Omicron sangat penting agar tidak menimbulkan cluster baru penularan COVID-19,” tutur Jubir Siti Nadia.
(Tribunnews.com/Tio)