PTM 100 Persen Dinilai Tak Relevan Dilakukan Saat Ini, Pakar Epidemiologi Jelaskan Alasannya
Menurut Pakar Epidemiologi Griffith University, Dicky Budiman Indonesia, ada yang harus diperhatikan saat Pembelajaran tatap muka (PTM).
Penulis: Aisyah Nursyamsi
Editor: Anita K Wardhani
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Pembelajaran tatap muka (PTM) memang harus menjadi prioritas.
Hal dikarenakan anak-anak sudah terlalu lama melakukan pembelajaran di rumah.
Pembelajaran tatap muka dinilai jauh lebih efektif ketimbang daring.
Baca juga: Omicron Terus Naik, Pelaksanaan PTM Gunakan Sistem Buka Tutup
Baca juga: Covid-19 Naik, Walkot Arief Putuskan PTM Kembali 50 Persen, Pegawai Pemkot Tangerang WFH 50 Persen
Namun, menurut Pakar Epidemiologi Griffith University, Dicky Budiman Indonesia, ada yang harus diperhatikan.
Pemerintah, dalam hal ini pemerintah daerah menurut Dicky seharusnya membuat suatu konsep.
Dimana sekolah menjadi yang paling terakhir ditutup saat pandemi memburuk.
Namun segera dibuka ketika situasi terkendali.
"Dan ini kesalahan Pemda selama ini. Padahal prinsipnya ketika pandemi memburuk, sekolah terakhir ditutup.
Dan ketika membaik segera dibuka. Ini gak dilakukan selama ini. sehingga banyak sekali anak- anak lebih setahun tidak sekolah," ungkap Dicky pada Tribunnews, Jumat (21/1/2022).
Hal ini berbeda dengan pusat perbelanjaan yang langsung buka. Begitu pula pada pasar. Menurut Dicky telah terjadi salah kaprah.
Justru saat ini, ketika PTM dibuka 100 dengan situasi yang tidak relevan.
Dicky pun menambahkan jika situasi saat ini tidak relevan untuk membuka PTM 100 persen.
Bahkan di beberapa kota di Jakarta, membuka sekolah untuk kapasitas 50 persen dinilai cukup mengkhawatirkan karena trend kenaikan kasus.
"Beberapa di kota Jakarta saya gak melihat itu posisi aman. Kalau mau ada PTM harus ada mitigasi optimal dan memadai," kata Dicky lagi.
Selain itu belum semua anak usia 6-11 tahun yang telah melakukan vaksin hingga 100 persen. Belum lagi anak-anak yang berada bawah usia 6 tahun.
Tidak hanya vaksin, Dicky menyebutkan jika penggunaan masker pun diperlukan. Dan dalam konteks Omicron yang sulit dideteksi, harus menggunakan masker N95 atau yang sederajat.
"Karena itu risiko kecil, di bawah 1 persen potensi ketularan. Tapi kan kita belum bisa menyediakan hal itu. Dan situasinya, trend kasus Covid-19 saat ini meningkat," tegas Dicky.
Ia pun mengingatkan bahwa Omicron ini atau varian lain di Indonesia bukan masalah bergejala ringan atau tidak bergejala. Itu cara yang salah untuk memahami dampak pandemi Covid-19.
Riset juga membuktikan dampak dari Covid-19 bukan masalah kesakitan dalam rumah sakit, ICU atau ventilator.
"Tapi dalam hal ini adalah disebut dengan potensi perburukan kualitas kesehatan seorang anak atau guru dalam hal ini. Potensi Long Covid-19, ada efeknya yang dari sekarang misalnya neurogeneratif atau kerusakan sel otak," pungkasnya.