Naik Pesawat Tak Perlu PCR, Epidemiolog: Pemerintah Harus Perkuat 'Surveillance'
Penumpang transportasi udara, darat dan laut tidak perlu lagi menunjukkan surat hasil tes antigen atau PCR asalkan sudah divaksin minimal dua kali.
Editor: Willem Jonata
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Willy Widianto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah melalui Satuan Tugas Penanganan Pandemi Covid-19 mengeluarkan kebijakan berupa pelonggaran bagi para pelaku perjalanan dalam negeri dengan transportasi publik.
Penumpang transportasi udara, darat dan laut tidak perlu lagi menunjukkan surat hasil tes antigen atau PCR asalkan sudah divaksin minimal dua kali.
Terkait hal tersebut Pakar Epidemiologi Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman mengatakan apabila ada yang dilonggarkan semestinya ada sisi lain yang juga harus diperkuat.
Karena jika tidak ada yang diperkuat sementara kebijakan memutuskan untuk pelonggaran maka Indonesia akan berada dalam kegelapan menuju akhir pandemi covid-19.
Baca juga: Peraturan Perjalanan Udara dari Kemenhub Terbaru, Tanpa PCR atau Antigen Bagi Vaksin Full
Baca juga: Uji Coba Bebas Karantina untuk Pelaku Perjalanan Luar Negeri Akan Dievaluasi Berkala
"Berarti kalau tesnya itu penting kalau misalnya oke naik pesawat tidak(test covid), naik kereta tidak(test covid) dengan status tadi dengan pelonggaran tadi tapi surveillancenya harus kuat. Dengan cara apa yang namanya surveillance itu kan harus sudah melakukan suatu upaya berkala. Surveillance biasanya ada yang ditarget 'yang subur' pertambahan wabahnya atau rawan begitu. Nah ini yang harus diperkuat ini yang harus dibuktikan kuat karena kalau tidak kita akan berada dalam kegelapan menuju akhir pandemi ini," ujar Dicky kepada Tribun, Selasa(8/3/2022).
Dicky memang tidak mempermasalahkan naik transportasi umum seperti pesawat terbang atau kereta api penumpang tidak tes antigen atau PCR. Hanya saja dari pemerintah misalnya perkuat aspek surveillancenya.
Ia pun mencontohkan pemerintah bisa membuat sampling misalnya dari total jumlah penumpang pesawat terbang dengan tujuan tertentu satu persen menjalani tes antigen atau PCR tetapi ditanggung biayanya oleh pemerintah alias gratis.
Baca juga: Angkasa Pura II Siap Implementasikan Aturan Baru Perjalanan Domestik
"Nah dari satu persen dilihat aman nih, harusnya test positivity ratenya kan di bawah 1 persen, jika aman wah boleh nih lanjut, begitu," kata Dicky.
Selain itu kata dia kekuatan lain yang harus dilakukan saat pelonggaran adalah dari sisi tren dan indikator seperti test positivity rate, angka reproduksi, lalu tingkat hunian rumah sakit, cakupan vaksinasi serta tingkat kedisplinan masyarakat soal protokol kesehatan selama pandemi covid-19.
Tidak ketinggalan juga aspek literasi dan budaya kesehatan baru yang sudah harus dilakukan masyarakat di era normal baru seperti sekarang ini.
"Cakupan vaksinasi yang memadai untuk omicron adalah 90 persen untuk dua dosis dan setidaknya 50 persen untuk tiga dosis itu sudah memadai untuk kategori aman. Angka reproduksinya kalau bisa di bawah 1, test positivity ratenya harus di bawah 1 persen kemudian jelas hunian rumah sakit harusnya enggak ada atau kalaupun ada jumlah BOR di bawah 10 persen. Lalu kesiapan dari sisi individu masyarakat maupun lingkungan," ujar Dicky.
Lebih jauh Dicky juga menjelaskan fungsi testing covid-19 tidak tergantikan dengan vaksinasi. Karena dengan adanya testing akan diketahui kapan waktu yang tepat untuk menentukan pengetatan kegiatan masyarakat, kapan menuju endemi, kapan menuju epidemi.
"Tahunya dari mana ya dari test. Jadi harus ada penguatan dan saya belum melihat itu sekarang," ujar Dicky.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.