Perubahan Kebijakan Vaksin Booster, Kini Bisa 3 Bulan Usai Dosis Kedua
Interval pemberian booster baik lansia usia 60 tahun ke atas, serta masyarakat umum disesuaikan minimal 3 bulan setelah menerima vaksin lengkap.
Penulis: Aisyah Nursyamsi
Editor: Anita K Wardhani
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Pemerintah telah melakukan perubahan aturan terkait program percepatan cakupan vaksinasi Covid-19. Perubahan dilakukan berdasarkan rekomendasi para ahli.
Kementerian kesehatan telah mengluarkan Surat Edaran No SR.02.06/2/1180/2022 per 25 Februari 2022, tentang penyesuaian pelaksanaan Covid-19 dosis lanjutan atau booster bagi masyarakat umum.
Hal ini disampaikan oleh Juru Bicara Pemerintah untuk Covid-19, dr. Reisa Broto Asmoro.
Baca juga: Pemerintah Kota Solo Kehabisan Stok Vaksinasi Booster
Baca juga: AMPI Gelar Vaksinasi Booster untuk Warga Kota Bandung
"Dalam surat edaran tersebut, interval pemberian booster baik lansia usia 60 tahun ke atas, serta masyarakat umum disesuaikan minimal 3 bulan setelah menerima vaksin lengkap,"ungkapnya pada siaran Radio RRI, Selasa (8/3/2022).
Pemerintah saat ini memang tengah melakukan percepatan pada program vaksin Covid-19. Berdasarkan data cakupan vaksin Covid-19, per 6 Maret, dosis pertama sudah mencapai 92,2 persen.
Lalu untuk yang sudah dua dosis sebanyak 71,03 persen. Namun untuk vaksin booster masih di bawah 6 persen.
Oleh karena itu Reisa mengajak masyarakat melakukan vaksinasi dosis lengkap beserta booster.
"Kenapa harus booster dan tidak hanya vaksin lengkap. Karena datanya, menunjukkan dengan vaksinasi booster dapat memberikan perlindungan 91 persen dari risiko terburuk covid-19," paparnya lagi.
Ia pun meminta masyarakat untuk melakukan cek terkait sudah berapa bulan jeda dari dari vaksin terakhir. Kalau sudah tiga bulan, maka segera lakukan booster.
Terutama pada orang lanjut usia. Harus segera didampingi dan diajak untuk mendapatkan vaksin booster.
Pemerintah Siapkan Strategi Normalisasi, Menuju Perubahan dari Pandemi ke Endemi
Beberapa negara telah mencabut status pandemi. Indonesia pun tampak tengah mengambil ancang-ancang.
Menurut Juru Bicara Pemerintah untuk Covid-19, dr. Reisa Broto Asmoro, untuk mengubah status menjadi pandemi dan endemi perlu pertimbangan penuh kehati-hatian.
"Karena kita harus melihat dari berbagai sisi. Tidak hanya sains dan kesehatan. Sosial dan budaya, dan tentunya ekonomi. Pengambilan keputusan harus imbang," ungkapnya pada siaran Radio RRI, Selasa (8/3/2022).
Dan keputusan yang diambil harus baik dan tepat.
Menurut Reisa hal ini sejalan dengan beberapa negara yang sudah melakukan pencabutan pembatasan Covid-19 dengan berbagai pendekatan.
Tidak hanya pendekatan kesehatan sains, transisi pandemi menjadi endemi perlu dilakukan bertahap.
Pemerintah sendiri menurut pemaparan Reisa telah menyiapkan strategi.
"Oleh karena itu, pemerintah menyiapkan peta jalan untuk normalisasi aktivasi masyarakat, melalui kebijakan pengendalian virus. Dengan target pasien rumah sakit dan kematian di level rendah," paparnya lagi.
Saat ini kondisi kasus Covid-19 harian dan keterisian rumah sakit mulai melandai.
Per 6 Maret 2022, tingkat keterisian tempat tidur dan isolasi adalah 29 persen dari total kapasitas nasional.
"Jadi kita harapkan betul untuk terus turun dan tidak bertambah. Dan pemerintah terus mengupayakan pandemi terkendali dengan satu indikator. Yaitu positift rate harus sesuai target di bawah 5 persen," kata Reisa lagi.
Pemerintah juga melakukan kesiapan pandemi menuju endemi dengan peningkatan cakupan vaksinasi dosis kedua dan booster.
Selain itu juga peningkatan kapasitas survelens dari testing, treacing dan jaminan fasilitas kesehatannya.
Dan semua ini membutuhkan lapisan masyarakat tidak hanya dari pemerintah saja.
"Agar bisa bersiap hidup normal berdampingan dengan covid-19. Peran penting juga masyarakat pemutusan Covid-19. Kita juga sudah belajar selama dua tahun bagaimana caranya," pungkasnya.