Kasus Harian Turun, Vaksin dan Booster Tetap Perlu Diperkuat
Data di Kemenkes, angka kasus aktif COVID-19 terus turun secara konsisten sejak akhir Februari 2022
Penulis: Choirul Arifin
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia baru-baru ini mendapat apresiasi internasional karena mempercepat pelaksanaan vaksinasi di tengah tantangan geografis yang luas dengan lebih dari 17.000 pulau.
Indonesia termasuk di antara lima negara dunia dengan jumlah vaksinasi tertinggi.
Data di Kemenkes, angka kasus aktif COVID-19 terus turun secara konsisten sejak akhir Februari 2022 yang diikuti juga dengan penurunan angka konfirmasi kasus, penurunan keterisian rumah sakit, dan penambahan angka kesembuhan pasien. Keberhasilan ini harus terus dipertahankan dengan menerapkan protokol kesehatan dan vaksinasi.
Baca juga: Syarat Naik Kereta Api Lebaran 2022: Sudah Vaksin Booster, Tak Perlu Tes Antigen atau PCR
“Protokol kesehatan dan vaksinasi merupakan harga mati untuk mencegah penularan COVID-19 karena penularan dapat menimbulkan varian baru sehingga siklusnya akan terus seperti itu. Akibatnya, kita tidak akan berada dalam kondisi endemis,” kata dr. RA. Adaninggar PN, Sp.PD dalam talkshow kesehatan yang diadakan Good Doctor dan LSPR Communications & Business Institute baru-baru ini.
“Tidak pernah ada dua varian yang sama-sama dominan di suatu tempat atau di suatu negara. Varian yang lebih cepat menular akan mendominasi di suatu daerah atau negara dan ini terjadi pada Omicron. Saat ini, di seluruh dunia termasuk di Indonesia sudah didominasi oleh Omicron. Berdasarkan hasil dari Genome Sequencing, Omicron sudah mendominasi sebesar 96% sedangkan sisanya yang 4% adalah varian lain,” imbuhnya.
Baca juga: Upaya YKMI Terkait Vaksin Booster Memasuki Babak Baru
Memahami varian Omicron dan subvariannya
Untuk gejalanya sendiri, berdasarkan kasus yang pernah dr. Ning temukan sehari-hari, sebenarnya tidak ada yang bisa membedakannya. Baik varian Delta maupun varian Omicron dapat menyebabkan anosmia. Hanya tidak sebanyak yang dialami penderita Delta.
Untuk Omicron, gejala umum yang dialami adalah infeksi saluran pernapasan atas seperti sakit tenggorokan dan batuk pilek. Sementara itu, mereka yang dirawat di rumah sakit akibat Omicron tetap mengalami gejala yang sama seperti pasien dengan varian sebelumnya, yakni badai sitokin dan pneumonia.
Karena itu, apa pun variannya, kita tidak dapat mengatakan bahwa varian ini tidak lebih berbahaya dari Delta.
Soal munculnya subvarian Omicron bernama Siluman (Son of Omicron) ini, dr Ning yang juga dokter spesialis penyakit dalam Good Doctor ini menjelaskan, virus akan terus bermutasi membentuk varian dan varian juga akan membentuk subvarian.
Ini adalah hal yang biasa karena itulah sifat alami virus. Jadi, adanya Siluman (BA.2) yang merupakan subvarian dari Omicron (BA.1) merupakan hal biasa. Seperti varian Delta yang juga memiliki puluhan subvarian.
Subvarian Siluman (BA.2) cukup menghebohkan karena di beberapa negara yang kasus Omicronnya sudah lebih dulu tinggi, BA.2 diduga menjadi salah satu penyebab gelombang penurunan kasus tidak banyak atau mengganggu penurunan kasus. Dari beberapa penelitian terbukti bahwa BA.2 dua setengah kali lipat lebih menular dibandingkan BA.1.
Namun, secara penelitian di laboratorium, tingkat keparahan akibat subvarian BA.2 ini mirip Delta, jadi lebih banyak di paru-paru daripada di saluran pernapasan atas seperti BA.1.