Tanggapan Pakar Epidemiologi Terkait Kebijakan Lepas Masker di Luar Ruangan
Pemerintah buat kebijakan pelonggaran protokol kesehatan seiring terkendalinya pandemi covid-19 di Indonesia.
Penulis: Aisyah Nursyamsi
Editor: Willem Jonata
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah buat kebijakan pelonggaran protokol kesehatan seiring terkendalinya pandemi covid-19 di Indonesia.
Masyarakat sudah diperbolehkan tidak menggunakan masker saat beraktivitas di luar ruangan.
Perihal itu, pakar Epidemiologi Griffith University Dicky Budiman, angkat bicara.
Menurutnya, narasi terkait kebijakan penggunaan masker harus sangat hati-hati.
Dalam artian, jangan sampai membangun euforia atau percaya diri berlebihan, sehingga membuat masyarakat abai dan merugikan diri sendiri.
Baca juga: Masyarakat Sambut Baik Keputusan Lepas Masker di Ruang Terbuka tapi Tetap Jaga-jaga
"Karena begini, masker ini adalah satu perilaku yang selain mudah, murah, efektif dalam mencegah penularan penyakit yang ditularkan melalui udara seperti halnya Covid-19," ungkap Dicky pada Tribunnews, Selasa (17/5/2022).
Apalagi jika upaya ini dikombinasikan dengan akselerasi peningkatan cakupan vaksinasi. Hal ini menjadi satu kombinasi yang sangat signfikan berkontribusi dalam memperbaiki situasi pandemi.
"Yaitu menurunkan situasi penularan Covid-19 lewat udara. Kombinasi ini ditambah protokol kesehatan lain seperti perbaikan kualitas udara misal dengan ventilasi. Ini akan menjadi satu upaya keluar dari krisis pandemi ini," papar Dicky.
Terkait apa yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo, menurut Dicky mungkin vaksinasi untuk dosis dua sudah meningkat. Namun ia mengingatkan jika masih ada konteks Omicron beserta sub varian.
"Cakupan vaksinasi dua dosis tidak cukup dan harus tiga dosis. Di negara yang mulai melakukan pelonggaran tidak menggunakan masker di luar ruangan, karena cakupan dosis tiga vaksin Covid-19 sudah di atas 70 persen," papar Dicky lagi.
Sedangkan saat ini capaian vaksin dosis tiga di Indonesia belum masih di bawah itu. Menurut Dicky, Indonesia harus berhati-hati. Terutama melihat situasi setempat.
Seperti apakah cakupan vaksinasi tiga dosis sudah di atas 50 persen atau belum. Lalu outdoor, Dicky menyebutkan hal ini tidak menjamin aman. Menurutnya harus disertai sirkulasi udara yang bagus.
"Kalau bisa merasakan di dagu kita ada hembusan angin itu sudah relatif aman. Karena sirkulasi udara di outdoor bagus. Tapi outdoor dengan angin yang kurang, itu berbahaya," tegasnya.
Artinya tidak serta merta di arah outdoor boleh tidak memakai masker. Namun jika masyarakat sudah divaksinasi penuh, maka cukup aman kalau tidak menggunakan masker di ruangan Outdoor.
Dicky pun menyarankan perlu adanya komunikasi risiko yang disampaikan pada masyarakat. Dan juga memberikan informasi yang memadai pada publik.
Publik bisa menilai sendiri. Apakah situasi di sekitarnya aman atau tidak menggunakan masker. Ini yang harus diterjemahkan dengan sangat detail oleh pemerintah.
"Karena betul ada kelompok rawan memakai masker iya. Tapi bagi yang tidak rawan, bisa saja terinfeksi dan bisa menularkan walau tidak bergejala parah. Ini yang harus diingatkan," kata Dicky lagi.
Jika dia terinfeksi tanpa disadari kemudian membawa infeksi virus pada orang berisiko, maka dapat membawa kefatalan. Sekali lagi ia menekankan tentang penggunaan masker harus dilakukan secara bijak dan tidak terburu-buru.
"Saya kira sependapat dengan pernyataan pak presiden yang sebelumnya. Dimana kita akan melakukan pelonggaran secara bertahap. Kita ada masa transisi 6 bulan dan itu harus lihat," kata Dicky menambahkan.
Secara prediksi, Dicky menyebutkan jika akhir tahun ini situasi akan jauh lebih baik dan aman. Tapi jika banyak negara mengabaikan, maka dapat menimbulkan risiko besar.
"Jadi harus diingat sekali lagi. Kondisi belum cukup aman untuk betul-betul bebas dari masker ini. Jadi betul dikendalikan secara terukur dulu. Bersabar," tutupnya.