Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Kasus Covid-19 di China Melonjak, Antrean Mobil Jenazah di Jalan Masuk Krematorium Beijing Mengular

Antrean mobil jenazah tampak mengular di jalan masuk ke krematorium Covid-19 yang ditunjuk di ibu kota China, Beijing, Sabtu (17/12/2022).

Editor: Adi Suhendi
zoom-in Kasus Covid-19 di China Melonjak, Antrean Mobil Jenazah di Jalan Masuk Krematorium Beijing Mengular
Tribunnews/JEPRIMA
Ilustrasi Covid-19. Antrean mobil jenazah tampak mengular di jalan masuk ke krematorium Covid-19 yang ditunjuk di ibu kota China, Beijing, Sabtu (17/12/2022). 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Antrean mobil jenazah tampak mengular di jalan masuk ke krematorium Covid-19 yang ditunjuk di ibu kota China, Beijing, Sabtu (17/12/2022).

Terlihat para pekerja di 12 rumah duka di Beijing tampak lebih sibuk dari hari biasanya, setelah pemerintah China mencabut kebijakan pandemi yang ketat.

Dikutip dari Reuters, dalam beberapa hari terakhir di Beijing, penyebaran varian Omicron yang sangat mudah menular telah menghantui layanan mulai dari katering hingga pengiriman parsel.

Rumah duka dan krematorium di kota berpenduduk 22 juta jiwa itu juga berjuang untuk memenuhi permintaan karena lebih banyak pekerja dan pengemudi yang dinyatakan mengidap virus corona.

China belum secara resmi melaporkan jumlah kematian akibat Covid-19 sejak 7 Desember 2022, ketika negara itu tiba-tiba mengakhiri kebijakan nol-Covid yang telah diperjuangkan Presiden Xi Jinping, menyusul protes publik terhadap kebijakan tersebut.

Baca juga: IHME Ramalkan Kasus Covid-19 di China akan Kembali Melonjak Pasca Pelonggaran Pembatasan

Sebuah lembaga penelitian yang berbasis di AS mengatakan pada pekan ini, China dapat melihat ledakan kasus dan lebih dari satu juta orang di China dapat meninggal akibat Covid-19 pada 2023.

Lonjakan tajam kematian akan menguji upaya pihak berwenang untuk membatalkan pengujian atau tes Covid-19 massal, lockdown dan pembatasan perjalanan yang ketat, serta upaya menyelaraskan langkah China dengan negara-negara lain untuk hidup berdampingan dengan Covid-19.

Berita Rekomendasi

Menurut laporan Reuters, pada Sabtu sore terdapat sekitar 30 mobil membawa peti mati jenazah berhenti di jalan masuk menuju rumah duka Dongjiao, sebuah krematorium untuk kasus Covid-19 di Beijing.

Baca juga: Kematian Akibat Covid-19 Terus Meningkat, Pemerintah Shanghai Berlakukan Pembelajaran Online

Di antara mobil jenazah, terparkir ambulans dan gerobak dengan mayat terbungkus seprai di bagasi terbuka yang kemudian diambil pekerja bersetelan hazmat dan dipindahkan ke ruang persiapan untuk menunggu kremasi.

Sementara tiga dari banyak cerobong asap mengepul terus-menerus.

Beberapa meter dari krematorium, di sebuah rumah duka terlihat sekitar 20 kantong jenazah berwarna kuning diletakan di lantai, menurut laporan Reuters.

Namun belum dapat dipastikan apakah kematian itu dikarenakan Covid-19.

Operator keamanan parkir dan pemilik toko guci di gedung rumah duka, yang tidak ingin identitasnya diungkapkan, mengatakan jumlah kematian di atas rata-rata pada periode ini dan lebih banyak jika dibandingkan dengan periode sebelum pencabutan pembatasan pandemi pada 7 Desember.

Baca juga: WHO: Peningkatan Kasus Covid-19 di China Bukan Karena Kebijakan Pelonggaran Pembatasan

Pekerja yang sakit juga mempengaruhi staf lainnya di sekitar selusin rumah duka di Beijing.

"Kami memiliki lebih sedikit mobil dan pekerja sekarang. Kami memiliki banyak pekerja yang dinyatakan positif," kata seorang staf di Rumah Duka Miyun, Beijing, melalui telepon seraya menambahkan ada tumpukan permintaan untuk layanan kremasi.

Namun belum dapat dikonfirmasi, apakah perjuangan untuk memenuhi permintaan kremasi yang meningkat juga disebabkan oleh meningkatnya kematian terkait Covid-19.

Sedangkan di Rumah Duka Huairou, Beijing, jenazah disimpan selama tiga hari sebelum dapat dikremasi, kata seorang staf.

"Anda bisa membawa jenazah ke sini sendiri, baru-baru ini sibuk," kata staf itu.

Otoritas kesehatan China terakhir melaporkan kematian akibat Covid-19 pada 3 Desember, sementara Beijing terakhir melaporkan kematian akibat virus tersebut pada 23 November.

Namun media berita China, Caixin, melaporkan pada Jumat (17/12), dua jurnalis media veteran pemerintah telah meninggal setelah tertular Covid-19 di Beijing, di antara kematian pertama yang diketahui sejak China melonggarkan sebagian besar kebijakan nol-Covidnya.

Pada Sabtu, Caixin melaporkan seorang mahasiswa kedokteran berusia 23 tahun di provinsi Sichuan meninggal karena Covid-19 pada 14 Desember.

Namun, Komisi Kesehatan Nasional China pada Sabtu melaporkan tidak ada perubahan pada angka resmi kematian akibat Covid-19 dari 5.235 kasus sejak pandemi muncul di provinsi Wuhan pada akhir 2019.

Sejak pencabutan pembatasan awal bulan ini, China telah mengatakan kepada penduduknya yang berjumlah 1,4 miliar jiwa untuk tinggal di rumah jika mereka memiliki gejala ringan, karena kota-kota di seluruh China bersiap menghadapi gelombang infeksi pertama mereka.

Jika kebijakan Covid-19 yang ketat dicabut lebih awal, misalnya pada 3 Januari tahun ini, setidaknya 250.000 orang di China akan meninggal, kata ahli epidemiologi China terkemuka Wu Zunyou pada Sabtu.

Pada 5 Desember, jumlah pasien Covid-19 yang sakit parah atau kritis telah turun menjadi 0,18 persen dari kasus yang dilaporkan, dari tingkat 3,32 persen pada tahun lalu dan 16,47 persen pada tahun 2020, tambah Wu.

Ini menunjukkan tingkat kematian China akibat penyakit ini secara bertahap turun, katanya, tanpa menjelaskan lebih lanjut.

Angka resmi mengenai kasus Covid-19 telah menjadi panduan yang tidak dapat diandalkan, karena lebih sedikit pengujian yang dilakukan di seluruh China setelah pelonggaran kebijakan nol-Covid. China berhenti menerbitkan jumlah kasus tanpa gejala mulai Rabu (14/12/2022), dengan alasan kurangnya tes PCR diantara pasien Covid-19 tanpa gejala.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut peningkatan kasus Covid-19 di China telah terjadi sebelum pemerintah Beijing mulai melonggarkan aturan pembatasan.

Dilansir dari Channel News Asia, pejabat China sebelumnya telah memperingatkan bahwa kasus infeksi Covid-19 dapat meningkat setelah pemerintah melonggarkan kebijakan nol-Covid, membatalkan pengujian massal dan karantina, setelah hampir tiga tahun berupaya membasmi virus tersebut.

"Peningkatan kasus di China bukan karena pencabutan pembatasan Covid. Namun, peningkatan kasus telah dimulai jauh sebelum pelonggaran kebijakan nol-Covid," kata Chief Emergency WHO, Michael Ryan.

“Ada narasi bahwa dalam beberapa hal China mencabut pembatasan dan tiba-tiba wabah semakin tidak terkendali,” tambahnya.

Dia juga menjelaskan bahwa virus itu menyebar secara intensif karena tindakan pengendalian yang kurang efektif.

"Saya percaya pihak berwenang China telah memutuskan secara strategis bahwa bagi mereka, itu bukan lagi pilihan terbaik," kata Michael Ryan, mengacu pada langkah-langkah pengendalian.

Di samping itu, Ryan juga menekankan bahwa Pemerintah China perlu mengevaluasi tindakan pencegahan, terlebih varian Omicron cenderung lebih cepat menular.

“Penularan varian Omicron sangatlah cepat dan Pemerintah China sekali lagi harus mengubah cara pengendalian Omicron supaya wabah tidak semakin parah,” katanya.

Ryan mengatakan bahwa tindakan seperti itu digunakan untuk melindungi sistem kesehatan sembari meningkatkan vaksinasi.

"Ada data dari tempat-tempat seperti Hong Kong yang menunjukkan bahwa vaksin buatan China terbukti tidak lagi efektif. Namun dengan vaksin penguat, setidaknya dapat memperkecil risiko penularan,” ujarnya.

Sementara itu, para pemimpin China bertekad untuk terus maju, meskipun negara itu menghadapi lonjakan kasus yang dikhawatirkan para ahli tidak mampu menanganinya.

Prediksi Mengerikan

Direktur IHME Christopher Murray mengungkapkan proyeksi kasus di China akan mencapai puncaknya sekitar 1 April 2023.

Pada saat itu, kematian akan mencapai 322.000. Murray mengungkapkan artinya sekitar sepertiga populasi China akan terinfeksi pada saat itu.

"Tidak ada yang mengira mereka akan tetap berpegang pada nol-Covid selama mereka melakukannya," kata Murray.

Masyarakat China khawatir Covid-19 dapat melanda 1,4 miliar populasi Negeri Tirai Bambu selama liburan Tahun Baru Imlek bulan depan. "

China sejak wabah Wuhan yang asli hampir tidak melaporkan kematian. Itulah sebabnya kami melihat ke Hong Kong untuk mendapatkan gambaran tentang tingkat kematian infeksi," ujar Murray.

Adapun, pakar lain memperkirakan sekitar 60 persen populasi China pada akhirnya akan terinfeksi, dengan puncaknya diperkirakan pada bulan Januari 2023.

Prediksi yang paling parah, Covid-19 menyerang populasi yang rentan, seperti orang tua. (Tribun Network/fit/reuters/channel news asia/wly)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas