Bambang Haryo :"Sedot Subsidi Besar, Ferry Jarak Jauh Berpotensi Rugikan Negara"
Rencana PT ASDP membuka rute perjalanan ferry jarak jauh antara lembar (NTB)-Surabaya (Jatim) ternyata menuai kritik tajam dari anggota dewan.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rencana PT ASDP membuka rute perjalanan ferry jarak jauh antara lembar (NTB)-Surabaya (Jatim) ternyata menuai kritik tajam dari anggota dewan.
Menurut Anggota Komisi VI DPR RI Bambang Haryo Soekartono, pengoperasian ferry jarak jauh berpotensi merugikan negara karena menyedot subsidi sangat besar dan sama sekali tidak bermanfaat.
“Ferry jarak jauh ini tidak ada manfaat apa-apa terhadap disparitas harga ataupun pariwisata. Hanya menghamburkan anggaran negara dan mematikan ekonomi rakyat di sekitar pelabuhan,” katanya saat diwawancarai lewat sambungan telepon, Senin (28/11/2016).
Bambang melihat, lintasan Lembar-Surabaya secara bisnis tidak layak, karena tarif ferry lebih mahal dibandingkan tarif kapal petikemas. Tidak heran, jika Menhub Budi Karya Sumadi menjanjikan subsidi untuk menghidupi lintasan itu.
Dia memperkirakan tarif ferry Lombok-Surabaya Rp6 juta-Rp8 juta (break even point), lebih tinggi daripada tarif petikemas Rp1,5 juta.
“Subsidinya jelas akan besar sekali. APBN terkuras untuk menghidupi lintasan yang tidak perlu itu, " ujar Bambang.
Bambang pun menilai pernyataan Menhub bahwa ferry jarak jauh akan menghilangkan disparitas harga, tidak tepat. Sebab, selisih harga barang antara Lombok dan Surabaya relatif kecil, bahkan beberapa bahan pokok di Lombok lebih murah.
Mengutip data Kementerian Perdagangan per 23 November, harga beras di Lombok Rp9.300 per kg. Sedangkan di Surabaya Rp9.500 per kg.
Harga cabai di Lombok juga lebih murah yakni Rp41.000 per kg. Sementara di Surabaya Rp56.000 per kg. Beberapa bahan pokok lainnya juga relatif lebih murah di wilayah timur itu.
Bambang juga membantah bahwa arus truk dari Lombok ke Jawa yang melalui Bali menjadi penyebab kerusakan jalan dan mengganggu pariwisata.
Menurut dia, arus truk Padang Bai (Bali)-Lembar saat ini hanya 130-an unit per hari. Sementara arus truk Ketapang (Jatim)-Gilimanuk (Bali) mencapai 3.500 unit per hari.
Artinya, truk dari Lombok ke Jawa yang melalui Bali sangat sedikit dibandingkan jumlah truk yang beroperasi di wilayah Bali sendiri yang diperkirakan lebih dari 10.000 unit.
“Tidak beralasan jika dikatakan truk dari luar Bali yang merusak jalan dan membuat macet. Justru pariwisata di Bali tumbuh karena dilalui angkutan barang, di antaranya untuk kebutuhan Bali juga,” ungkapnya.
Bambang menegaskan, ferry jarak jauh itu akan mematikan lintasan Padang Bai-Lembar yang dirintis oleh ASDP sejak 1980-an. Jika pelabuhannya tutup, kerugian ASDP akan tambah bengkak.
Sebanyak 33 kapal yang melayani lintasan itu juga akan menganggur karena pasarnya diambilalih ferry jarak jauh yang disubsidi.
Politisi Partai Gerindra itu, memperkirakan 3.000 orang akan kena dampak langsung, yaitu sekitar 2.000 kru kapal (60 kru per kapal) dan 1.000 kru pelabuhan. Jumlah ini belum termasuk masyarakat yang selama ini wilayahnya dilintasi truk dan mencari nafkah di pelabuhan, seperti pedagang, rumah makan, jasa angkutan, dan sebagainya.
“Dampak ekonomi dan sosialnya sangat besar. Ironis sekali ASDP menggunakan subsidi yang justru bisa membunuh usahanya sendiri, mematikan ekonomi rakyat, dan memicu masalah sosial," tandasnya. Dia pun mengingatkan Menhub dan ASDP agar tidak memanfaatkan proyek ferry jarak jauh hanya untuk menyelamatkan ASDP yang merugi di lintasan Merak-Bakauheni karena lima kapalnya tidak bisa beroperasi optimal.
Menurut politisi dari dapil Jatim I ini, masalah ASDP di Merak-Bakauheni akibat kegagalannya sendiri menyelesaikan dermaga 6 dan 7 pada tahun ini, selain kesalahan Kemenhub mengobral izin di lintasan itu.
Padahal, ASDP sudah disuntik penyertaan modal negara Rp1 triliun tahun lalu untuk segera merampungkan dermaga kembar tersebut.
“Kesalahan ini merugikan masyarakat. KPK harusnya turun tangan untuk mencegah kerugian negara yang lebih besar," tutup Bambang. (Pemberitaan DPR)