Baleg Minta RUU KIA Segera Direalisasikan Demi Pemutusan Diskriminasi terhadap Perempuan
Badan Legislasi DPR RI berharap RUU mengenai KIA segera dipercepat guna memuluskan program tujuan pemerintah yakni menuju Generasi Emas 2045 mendatang
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM - Badan Legislasi (Baleg) DPR RI mendorong agar proses pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) mengenai Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) dipercepat. Hal itu dilakukan agar bisa dengan segera disahkan dalam waktu dekat.
RUU KIA ini dinilai akan memuluskan program yang sejalan dengan pemerintah menuju Generasi Emas 2045 dan pemutusan diskriminasi terhadap perempuan.
Anggota Baleg DPR RI Luluk Nur Hamidah meminta agar pembahasan RUU KIA tidak berat sebelah. Ia menyebut, RUU tersebut harus memprioritaskan kepentingan Ibu dan Anak.
"Pemerintah sepertinya main-main dengan apa yang selalu digaungkan, generasi emas, SDM unggul, bebas stunting serta yang lainnya. Tapi masih setengah hati ketika berhadapan dengan kalangan industri," ungkap Luluk dalam keterangan tertulisnya, Kamis (15/6/2023).
Dalam RUU KIA, salah satu yang diatur adalah adanya penambahan cuti bagi ibu hamil dan melahirkan menjadi 6 bulan. RUU ini juga mengatur cuti untuk pekerja lelaki yang istrinya melahirkan, atau sering disebut sebagai cuti ayah.
Namun, Luluk menilai tidak banyak kemajuan fakultatif dalam DIM pemerintah. "Saya juga baca DIM (Daftar Inventaris Masalah) pemerintah, soal cuti bagi ibu dan ayah nggak banyak kemajuan bersifat fakultatif," tandasnya.
Aturan tersebut pun menimbulkan penolakan dari sejumlah kalangan industri, termasuk dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), terutama mengenai cuti melahirkan bagi pekerja perempuan. Pihak perusahaan memandang hal tersebut akan berdampak kurang baik bagi kinerja perusahaan.
Maka itu, Luluk mengungkapkan bahwa seharusnya hal itu tidak perlu dipersoalkan karena ada solusi lain untuk perusahaan jika tambahan cuti melahirkan diterapkan.
"Jelas bisa diatur dalam pasal-pasal secara terperinci, tidak perlu mengkhawatirkan bahwa RUU KIA tidak akan mengakomodir kepentingan industri,” tegas Luluk.
Oleh karenanya, perempuan yang juga merupakan Anggota Komisi VI ini, menekankan pemerintah harus segera ambil sikap tegas. Sebab, Luluk mengatakan, pemerintah seharusnya bisa menjembatani perjuangan para pekerja perempuan dengan perusahaan.
“Salah satu solusi yang bisa diajukan pemerintah ialah gaji para pekerja perempuan bisa dibebankan melalui jaminan sosial selama cuti enam bulan tersebut,” ujarnya.
Sejauh ini, lanjut Luluk, aturan mengenai hal itu sedang dibahas lebih lanjut dalam Daftar Inventarisasi Masalah. "Ada kemungkinan gaji tiga bulan dibayarkan negara, atau bahkan bisa saja negara membayarkan semuanya selama cuti, masih (dalam) kajian," terangnya.
Alternatif lain yang bisa diakomodir oleh pemerintah adalah dengan memberikan subsidi gaji bagi perusahaan untuk merekrut pekerja magang sebagai pengganti ibu melahirkan.
Ia juga mengatakan, solusi tersebut cukup masuk akal. "Jika ada pertimbangan lain dari industri yang dapat diakomodir oleh pemerintah, seperti dana untuk karyawan magang pengganti sementara ibu melahirkan, maka pemerintah dapat mempertimbangkan adanya subsidi dari pemerintah," paparnya.