Bukan Hanya Cari Gelar, Zaman Dulu Orang Pulang Haji Makin Berilmu dan Pemersatu Bangsa
Ibadah haji sejatinya bukan hanya ritual-ritual keagamaan belaka atau kegiatan wisata ke luar negeri.
Penulis: Husein Sanusi
Editor: Anita K Wardhani
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Muhammad Husain Sanusi Dari Makkah
TRIBUNNEWS.COM, MAKKAH – Ibadah haji sejatinya bukan hanya ritual-ritual keagamaan belaka atau kegiatan wisata ke luar negeri.
Usai menjalani rukun Islam kelima, pulang tidak sekada mendapat gelar haji yang bagi sebagian orang di beberapa tempat dijadikan gelar bergengsi.
Pengendali ibadah haji, Oman Fathurrahman, yang juga pakar sejarah dan manuskrip kuno bercerita tentang perjalanan haji orang-orang Nusantara di jaman dahulu yang setelah pulang ke tanah air menjadi orang yang punya kontribusi besar terhadap bangsa dan negara.
“Dalam sejarahnya, ada empat aspek yang mendorong orang Nusantara naik haji: ibadah, ziarah, tijarah (dagang), dan rihlah ilmiah (perjalanan mencari ilmu). Meski bersusah payah, dan dengan biaya mahal, sejak dulu Muslim Nusantara sangat antusias pergi ke Tanah Suci karena Makkah diyakini sebagai kota suci yang memiliki nilai spiritual, teologis, dan sosial yang sangat tinggi. Bagi para Sultan dan penguasa negeri, pergi haji bahkan menjadi tambahan legitimasi,” Oman Fathurrahman di Kantor Daker Makkah, Rabu (31/7/2019)
Baca: Pengelola Hotel Makkah Beri Bunga untuk Semangati Jemaah Haji yang Sakit
Baca: Makkah Macet karena Kakak Raja Salman Wafat, Bus Sholawat Pengangkut Jemaah Haji Kena Dampak
Bahkan alumni-alumni haji dari tanah suci jaman dahulu sangat menonjol.
Ada banyak tokoh besar yang punya pengaruh besar dalam sejarah negeri ini seperti dua tokoh pendiri ormas Islamn terbesar Indonesia Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.
“Dulu, aspek rihlah ilmiah sangat menonjol. Di abad 17 ada Syekh Abdurrauf Singkel Aceh yang tinggal selama 19 tahun untuk haji dan belajar ilmu agama. Di abad 19 kita punya kisah Kyai Hasyim Asy’ari, Kyai Ahmad Dahlan, dan Kiai Kholil Bangkalan dari Jawa, atau Tuan Guru Abdul Majid dari Lombok. Mereka membangun reputasi keilmuannya di Tanah Suci, melalui perjalanan haji. Pulang haji, mereka menjadi tokoh berilmu tinggi yang menjadi pemersatu bangsa,” katanya.
Oman Fathurrahman menjelaskan, sejumlah manuskrip menunjukkan bahwa perjalanan haji dari Nusantara sudah ada setidaknya sejak abad 15. Manuskrip Hikayat Hang Tuah adalah contohnya.
Namun, sebagian kisah haji itu lebih bersifat mitos ketimbang fakta sejarah, karena belum bisa dibuktikan benar-tidaknya.
“Catatan haji yang mulai lebih bersifat faktual mulai dijumpai dalam teks asal abad ke-16 dan 17, seperti Sajarah Banten dan Babad Kraton. Dikisahkan bahwa perjalanan haji sebelum ada mesin uap itu dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari jalan kaki dari Jawa, berkuda, jalan darat, melewati sungai, gunung, hutan belantara, hingga lautan samudera. Waktu tempuhnya bisa berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun untuk sampai ke Makkah,” katanya.
Babad Nitik Sultan Agung juga menyinggung cerita mitologis Sultan Agung yang sering berkunjung ke Mekkah, dan bahkan membawa sebagian tanah dari Mekkah untuk dibawa pulang ke Jawa.
Sesampainya di Jawa, tanah itu dilemparkan, dan jatuh di lokasi yang sekarang menjadi tempat pemakaman keluarga Sultan Agung. Sekarang titik tersebut dikenal dengan Imogiri.
“Sejak abad 17 hingga masa kontemporer, catatan pengalaman perjalanan ibadah haji semakin sering dituliskan sebagai memoar, dengan berbagai sudut pandang, mulai dari pengalaman spiritual, perjalanan keilmuan, hingga tujuan diplomasi,” kata Oman Fathurrahman.