Opor Ayam Buat Terharu Jemaah Umrah Asal Jakarta
Sekalipun tersedia di restoran Indonesia yang berada di Tanah Suci, rasa masakannya jauh berbeda.
Editor: Yudie Thirzano
Laporan Tribun Batam, Candra P. Pusponegoro
TRIBUNNEWS.COM, MEKKAH - H Azib Susiyanto, seorang jemaah umrah dari Jakarta Indonesia mengaku terharu mengingat tradisi lebaran di tanah air, termasuk soal makanan. Di Tanah Suci, katanya, dia sangat kangen dengan masakan khas menjelang Lebaran, yakni opor ayam.
Kepada Tribun Batam (Tribun Network), Sabtu (18/8/2012) dia mengisahkan sebagian aktivitasnya selama umrah Ramadan. Di Tanah Suci, katanya, dia sangat kangen dengan masakan khas menjelang Lebaran, yakni opor ayam. "Tahun lalu, jika menjelang malam Lebaran, istri saya sudah sibuk memasak opor ayam dan lontong untuk esok harinya," katanya lewat sambungan telpon.
Dikatakannya, untuk mendapatkan opor ayam di sana tidak mudah. Sekalipun tersedia di restoran Indonesia yang berada di Tanah Suci, rasa masakannya jauh berbeda. Andaikat bisa dinikmati opor ayamnya, kata dia, keluarga selalu terbayang di pelupuk mata. Sebab selama menikmati hanya sendirian dan tidak bersama anak atau istri.
“Biasanya, selama bertahun-tahun saya sama anak-anak, istri dan keluarga besar berlebaran di rumah. Sekarang tiba-tiba harus berpisah untuk sekian lama dan sendirian di sini. Tentu bisa dibayangkan betapa harunya jika ingat hal itu di jauh sini,” ujarnya sambil menahan.
Tidak hanya Azib Susiyanto saja yang merasakan hal itu. Jemaah lain dari Tanah Air juga mengakui hal yang sama. Adalah H Mohamad Yamin yang juga sedang melakukan perjalanan spiritual ke Tanah Suci. Menurut Yamin, dirinya sengaja ingin menjalani puasa Ramadan, Lebaran, dan Syawal di Mekkah Arab Saudi.
Dia berangkat ke Tanah Suci pada Rabu (15/8/2012) kemarin. Sebelumnya, banyak umat muslim yang menuturkan kepadanya apabila beribadah Ramadan dan Lebaran di Tanah Suci suasananya sangat agung. Setelah ia tiba di Tanah Suci Kamis (16/8/2012) lalu, tidak henti-hentinya dia mengucap syukur kepada Sang Pencipta.
Diceritakannya, selama ritual di Tanah Suci, dirinya menemukan banyak ketenangan dan kesyahduan yang tidak bisa diperoleh sebelumnya. Jika puasa di Tanah Air masih sering tergoda oleh keinginan duniawi, maka setibanya di sana, hati dan pikirannya bisa tercurah 100 persen kepada Sang Pencipta.
Sehingga selama berada di Madinah dan Mekkah, dirinya selalu banyak menangis. Utamanya rasa syukur yang tiada terkira, karena pada usia ke-63, ia masih diberikan kesempatan dan kemudahan berkunjung ke rumah Tuhan (baitullah). Selain itu, yang paling inti ialah nikmat ketenangan dan ketentraman jiwa selama di sana.
“Rasa tentram dan ketenangan pikiran ini yang tidak bisa ditebus oleh materi. Dan saya mendapatkan semuanya di sini. Saya sudah menunaikan haji beberapa tahun lalu, tapi ketika ibadah puasa Ramadan di sini rasanya tidak bisa teruraikan dengan kata-kata,” ujar Yamin terharu melalui sambungan ponselnya, Sabtu (18/8/2012) malam.
Namun demikian, lanjut Yamin, yang dikatakan oleh mereka yang sudah menunaikan umrah di bulan Ramadan dan Lebaran di Tanah Suci memang benar adanya. Artinya, suasana cukup berbeda dengan pelaksanaan di Tanah Air. Misalnya, jika salat Tarawih di Tanah Air 1 jam selesai, di sini bisa dilakukan sampai 3 jam.
“Saat buka puasa tadi, saya makan beberapa bji kurma dan dua gelas air Zam-zam di Masjidil Haram. Setelah berbuka puasa rasanya sudah kenyang seperti makan nasi dengan lauk pauk yang komplit,” ujar Yamin yang lahir 1 Desember 1949 silam.