Buruh Migran Hongkong: Pelayanan KJRI Masih Berbau Feodal
Ribuan migran Hongkong dari berbagai kelompok mengeluhkan pelayanan KJRI Hongkong yang sangat buruk dan feodal
Editor: Widiyabuana Slay
TRIBUNNEWS.COM – Ribuan migran Hongkong dari berbagai kelompok mengeluhkan pelayanan KJRI Hongkong yang sangat buruk dan feodal. Banyak pungli, pakai kaos dan sendal saja tak bisa masuk. Dalam aksi Minggu (15/9/2013), migran mendesak perbaikan.
Migran yang tergabung dalam JBMI (Jaringan Buruh Migran Indonesia) dari berbagai faksi, berkumpul di sejumlah titik, kemudian mengarah ke KJRI Hongkong, pukul 14.00 waktu Hong Kong atau pukul 15.00 WIB. Barisan Relawan Jokowi Presiden (Relawan Jokowi atau Bara JP) Hong Kong, juga ikut serta.
“Semangat demokrasi migran luar bisa. Kalau saja semangat begini ada di seluruh Indonesia, perubahan akan segera terlaksana,” ujar Ferry Alfiand Tjung Phin, Ketua DPP Bara JP dari Jakarta yang datang mendukung Bara JP Hongkong dalam aksi, seperti tertulis dalam rilis yang diterima redaksi Tribunnews.com.
Sringatin, juru bicara JMBI menyatakan, tuntutan perbaikan pelayanan KJRP tak bisa dilepaskan dari perubahan kepemimpinan di Jakarta. Maka aksi juga sekaligus parade dukungan untuk Jokowi.
Aksi JBMI didukung Persatuan BMI HK Tolak Over Charging (Pilar), Gabungan Migran Muslim Indonesia (Gammi), Liga Pekerja Migran Indonesia (Lipmi), Indonesia Migran Union (IMU), Asoiasi Tenaga Kerja Indoenesia (ATKI), di mana anggota Bara JP ada di dalam semua lembaga.
Sringatin, menambahkan, migran mendesak pemerintah berbenah diri. Pelayanan KJRI Hongkong yang sangat buruk. Bahkan dalam penanganan Kartika, migran yang dianiaya majikan di Hongkong, KJRI kurang memberi atensi.
“Migran mendesak menghapus Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN). Kartu ini disebut gratis, namun nyatanya malah bayar, bisa sampai Rp 5 juta. Dasar rezim korup, KTKLN malah objek pungli,” tegas seorang migran.
JBMI mendesak pemerintah agar mengizinkan kontrak mandiri, migran bebas menentukan majikan sendiri, tanpa melalui agensi yang selama ini memeras. Migran meminta dukungan Bara JP di Jakarta memperjuangkan nasib mereka.
Kewajiban stop over charging (pungutan apabila migran berpindah majikan, tidak adil dan memeras serta koruptif. “Kalau semua harus bayar, lalu fungsi pemerintah yang dibiayai oleh uang rakyat, kerja apa? Makanya rezim ini harus diganti,” tambah migran.
Kontrak majikan wajib melalui agensi, dengan biaya dari migran (10 persen gaji). Apabila majikan berpindah majikan, ada pungutan lagi terhadap migran. “Pejabat jadi tukang pungut, lebih nista dari penjajah jaman dulu,” kata seorang buruh migran.