JK Rowling, dari Depresi hingga Bersimbah Harta
Sebelum Harry Potter, hidup JK Rowling sangatlah suram. Dia baru saja bercerai dengan suami pertamanya, Jorge Arantes, seorang wartawan dari Portugis.
Editor: Rendy Sadikin
TRIBUNNEWS.COM - Siapa sangka, penulis buku fenomenal Harry Potter, JK Rowling, sempat mengalami depresi dan nyaris bunuh diri. Rowling tidak malu mengaku dirinya pernah mengalami depresi.
Malah dari pengalaman menghadapi depresi itu dia berhasil menghasilkan buku yang menjadikan dirinya salah satu wanita terkaya di dunia. Sebelum Harry Potter, hidup JK Rowling sangatlah suram. Dia baru saja bercerai dengan suami pertamanya, Jorge Arantes, seorang wartawan dari Portugis.
Dia tinggal dalam sebuah flat sempit di Edinburgh dengan anaknya yang masih bayi, Jessica. Dia baru mampu mendiami flat tempatnya menelurkan buku Harry Potter pertama itu setelah seorang teman membayari deposit untuk tinggal di sana.
Masa kecilnya juga terhitung tak bahagia. Dia takut pada ayahnya dan berusaha keras membuat sang ayah senang. Ibunya menderita multiple sclerosis ketika dirinya berusia 15 tahun dan meninggal di tahun 1990.
Depresi mulai menyerang ketika pernikahannya hanya berumur dua tahun. Ketika itu ia pindah ke Portugal dan menjadi guru bahasa Inggris. Anaknya juga dilahirkan di Portugal.
“Pernikahan saya begitu singkat. Saya harus membawa pulang bayi Jessica ke Inggris dan membangun hidup kembali,” cerita wanita bernama depan Joanne itu.
“Di usia pertengahan dua puluhan hidup saya begitu miskin dan jatuh. Satu hal yang membuat saya mencari pertolongan mungkin adalah anak saya. Dia yang membuat saya membumi. Dan saya pikir depresi ini tidak benar. Anak saya tidak bisa tumbuh dengan keadaan saya seperti ini,” katanya kepada foxnews.
Ketika akan berobat, dokter yang biasa menanganinya sedang pergi. Rowling hanya menemui dokter pengganti. “Dokter itu bilang, ketika merasa jatuh, datang dan bicaralah dengan juru rawat yang bertugas lalu menyuruh pulang,” cerita penulis berusia 46 tahun itu. Saat itu ia sempat merasa sengsara dan ingin bunuh diri.
Baru dua minggu kemudian dokternya menelpon dan dirinya mendapat konseling dengan dokter. “Dokter itu benar-benar menyelamatkan saya karena saya pikir tidak punya keberanian lagi untuk pergi lagi ke dokter,” kata wanita yang kekayaannya ditaksir berjumlah 1 milyar dolar itu.
Rowling juga mendapatkan cognitive behavioral therapy yang terdiri dari serangkaian sesi konseling yang dirancang membantu pasien mengontrol pikiran negatif. Teknik tersebut direkomendasikan untuk mengatasi depresi, cemas, bulimia dan stres pascatraumatik.
Dari pengalaman masa kecil yang sulit serta pengalaman menghadapi depresi itu, ia membuat novel Harry Potter. Dari pengalaman dengan depresi, ia menciptakan dementor di buku ketiga Harry Potter and Prisoner of Azkaban, sejenis makhluk yang menghisap jiwa dan kebahagiaan dari diri seseorang.
Pikiran mau bunuh diri yang sering timbul saat depresi itu digambarkan dalam dementor membawa perasaan dingin, gelap, dan tanpa harapan. Ibu tiga anak ini juga mengaku kematian ibunya yang menyakitkan juga mendorongnya menulis.
“Pengalaman itu ada di setiap bagian buku. Ibu kehilangan rasa di tangan dan kaki. Kesimbangannya buruk dan memburuk. Ketika itu belum ada obat untuk penyakitnya,” kata wanita yang menyesal tidak melihat jenasah ibunya sebelum dimakamkan.
“Saya ingin melihat jenasah ibu tetapi ayah tidak mengizinkan. Saya secara keliru setuju. Saya sangat menyesali hal itu. Saya ingin melihat dia tak peduli betapa buruknya dia. Itu akan membuat segalanya jadi lebih mudah,” paparnya.
Penulis buku yang laris lebih dari 400 juta kopi di seluruh dunia itu tidak malu mendiskusikan kesehatan mentalnya untuk mengatasi stigma yang terkait dengan penyakit kejiwaan.
“Saya tidak pernah malu pernah menderita depresi. Tidak pernah,” katanya dalam sebuah wawancara dengan majalah mahasiswa Edinburgh University.
“Buat apa malu? Saya pernah mengalami masa sulit dan cukup bangga berhasil keluar dari kesulitan itu,” imbuh wanita yang pernah diberi gelar perempuan paling berpengaruh di Inggris itu.