Kisah Mahasiswa Tunanetra Indonesia dengan Sopir Bus di Adelaide
Ketika sedang menikmati perjalanan sore tersebut, bus berhenti dan tiba-tiba sopir bus tersebut menyentuh pundak saya dengan pelan.
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, ADELAIDE - Jaka Ahmad yang juga dikenal dengan nama "Jack" adalah mahasiswa tunanetra asal Indonesia yang sedang kuliah S2 program Social Work di Universitas Flinders, Adelaide, Australia Selatan. Salah satu hobi Jack adalah senang bepergian, dan berikut pengalamannya dengan seorang sopir bus di Adelaide.
Seperti di kota-kota lain yang pernah saya singgahi atau tinggal, di Adelaide saya juga suka bepergian sendiri, apalagi dengan menggunakan transportasi umum seperti bus atau kereta.
Sangat terbiasa dengan hiruk-pikuk lalu-lintas Jakarta yang semrawut membuat saya sangat cepat beradaptasi dengan lingkungan di Adelaide yang lebih teratur. Bayangkan saja, yang biasanya saya harus berlari, menghadang bus untuk menanyakan jurusannya, atau lompat dari bus ketika ingin turun dari bus yang tidak sepenuhnya berhenti, kini saya tinggal berdiri manis di pemberhentian bus dengan merentangkan tongkat putih saya dan bus pun akan berhenti dengan sukarela agar saya bisa menanyakan jurusan bus tersebut.
Suatu sore, ketika saya hendak pulang ke tempat tinggal saya, saya menaiki bus 720 ke arah kota dari Flinders Medical Center. Sebelum duduk, saya berkata pada sopirnya, bahwa saya mau turun di bus stop 22. Biasanya saya duduk di kursi paling depan, yang merupakan kursi prioritas bagi penyandang disabilitas, ibu hamil atau lansia.
Namun kali ini saya duduk agak jauh dari sopir. Bus berjalan dengan laju dan saya mulai asyik mendengarkan musik. Ketika sedang menikmati perjalanan sore tersebut, bus berhenti dan tiba-tiba sopir bus tersebut menyentuh pundak saya dengan pelan.
"Kamu seharusnya turun di stop 22, kan? Maaf, saya lupa… dan sekarang kita sudah di bus stop 18," kata sopir tersebut.
Dari intonasi suaranya, saya bisa menilai kalau dia memang merasa bersalah. Tapi saya sudah terlanjur kesal, jadi tanpa bicara, saya langsung berdiri dan berusaha untuk turun dari bus. Namun sopir tersebut berkata pada saya.
"Kalau kamu turun di sini, kamu akan kesulitan menyeberang sendirian karena tidak ada jalur penyeberangan. Tapi biarlah saya bantu kamu menyeberang," ujar sopir tersebut sambil mengikuti saya.
Turun dari bus, sang sopir kembali melanjutkan ”Atau kamu ikut saja sampai bus stop 16, karena di sana ada jalur penyeberangan dan kamu bisa menyeberang dengan aman lalu kamu bisa naik bus arah sebaliknya sampai di bus stop 22."
Masih kesal dan tanpa berbicara padanya, saya kembali naik ke dalam bus, menyetujui usulannya.
Sampai bus top 16, sopir tersebut menemani saya turun dari bus dan menuntun saya menuju jalur penyeberangan. Dia menekan tombol lampu penyeberangan dan menunggu bersama saya.
"Kamu sebaiknya kembali ke bus," akhirnya saya berbicara padanya. "Kasihan penumpang lain mereka bisa terlambat nanti."
"Saya akan seberangkan kamu terlebih dahulu, baru nanti saya lanjutkan perjalanan saya," dia pun menjawab.
Mendengar jawaban tersebut, saya mulai melunak dan merubah sikap saya, lebih berusaha menyembunyikan kekesalan saya karena kejadian tadi.