Lagi-lagi WNI Meninggal Di Kobe Setelah Ditransfer KIFMC ke RS Jepang Lain
Kematian WNI gara-gara KIFMC ini bukan pertama kali.
Editor: Johnson Simanjuntak
Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Tokyo
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Lagi-lagi, pasien WNI dewasa meninggal 22 Januari 2016 setelah dirawat di Kobe International Frontier Medical Center (KIFMC) lalu ditransfer ke Rumah Sakit lain di Kobe karena dianggap skala medis dikurangi.
"Seorang pasien KIFMC warga Indonesia, dewasa, yang dirawat November 2015, kemudian karena menganggap RS tersebut skala medisnya berkurang, lalu dipindahkan ke Rumah Sakit Lain di Kobe, dan pada tanggal 22 Januari 2016 lalu meninggal dunia," papar sumber Tribunnews.com Selasa ini (26/1/2016).
Kematian WNI gara-gara KIFMC ini bukan pertama kali. Tahun lalu dua WNI juga meninggal di KIFMC setelah operasi transplantasi hati.
Selain dua WNI, satu dewasa dan satu anak kecil tahun lalu, empat orang Jepang juga meniggal di rumah sakit bermasalah itu.
Pihak Kepala Rumah Sakit Dr. Tanaka Koichi membantah kesalahan rumah sakit dalam kasus kematian pasien tersebut.
Namun tim penyelidik independen Asosiasi Japan Liver Transplant Research yang menyelidiki atas nama Kementerian Kesehatan Jepang, menghasilkan tiga kesimpulan atas operasi tersebut.
Pertama, kurang memadainya tenaga kesehatan saat operasi dan persiapan yang tidak mantap saat melakukan operasi terhadap para pasien rumah sakit tersebut.
Kedua, memiliki transplantasi dari donor yang tidak memadai fatty liver berat dalam pemeriksaan.
Ketiga, adanya pengendalian infeksi yang tidak cukup baik. Ada masalah dengan pembedahan.
Laporan tim penyelidik independen jelas-jelas menuliskan bahwa ternyata ada masalah saat operasi transplantasi hati.
Operasi yang dilakukan RS tersebut mengakibatkan dua WNI meninggal karena dilakukan para tenaga muda dokter, seolah sebagai latihan praktek para dokter muda tersebut sehingga berakhir dengan kegagalan dan kematian pasien, tambah sumber itu lagi.
RS KIFMC ini sempat mendapat sanksi larangan operasi oleh dinas kesehatan setempat sebagai tanda kegagalan praktek operasinyanya tersebut mengakibatkan 6 orang meninggal di tahun 2015.