Pengamat: Terjadi Peningkatan Risiko di Pasar Keuangan Setelah Inggris Keluar dari Uni Eropa
Kekhawatiran lain juga muncul karena langkah Inggris akan diikuti negara lain yang memiliki basis ultranasionalis
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Pengamat Ekonomi sekaligus Rektor Universitas Paramadina, Firmanzah melihat terjadi kepanikan di pasar keuangan dunia, setelah Inggris memilih untuk keluar dari Uni Eropa (Brexit), Jumat (24/6/2016).
Keluarnya Inggris dari Uni Eropa menurut mantan Staff Khusus Presiden di era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini, meningkatkan resiko ketidakpastian di pasar keuangan.
Ketidakpastian tinggi karena semua pihak tidak tahu persis apa dan proses yang akan terjadi selama masa transisi baik di bidang ekonomi dan politik.
"Banyak perusahaan besar dunia yang menjadikan Inggris dan London sebagai akses masuk ke pasar Eropa," ujarnya ketika dihubungi Tribunnews.com, Jumat (24/6/2016).
"Setelah Inggris keluar dan Eropa mereka panik dan berusaha menghitun ulang investasi dan bahkan ada beberapa perusahaan seperti JPMorgan yang mengancam akan keluar dari Inggris," jelasnya.
Kekhawatiran lain juga muncul karena langkah Inggris akan diikuti negara lain yang memiliki basis ultranasionalis cukup besar seperti Belanda.
Hal ini yang membuat mata uang Poundsterling jatuh lebih dari 10%, kejatuhan pasar saham Eropa, jatuhnya harga minyak mentah dunia dan sejumlah komoditas.
Setelah Inggris memilih untuk keluar dari Uni Eropa (Brexit), pasar global bergejolak.
Menyusul hasil sementara referendum Inggris menunjukkan keunggulan perolehan suara untuk kubu yang ingin meninggalkan Uni Eropa (Brexit).
Sampai pukul 4:15 pagi waktu London, keunggulan 560.000 lebih suara untuk kubu Brexit daripada untuk Bertahan, membuat saham memerah mulai dari Tokyo sampai London dan Chicago.
Pound mengalami penurunan tertajam dalam sejarah untuk menyentuh level terendah sejak tahun 1985.
Dengan lebih dari setengah suara dihitung, gambaran yang menunjukkan terbelahnya rakyat Inggris Raya, dengan London dan Skotlandia sebagian besar memilih suara "Bertahan" dan sisanya daerah lainnya sebagian besar di kubu 'Keluar'.
Kampanye yang getir menyoroti bagaimana kecewanya publik dengan tatanan politik pasca perang dan kegagalan untuk memberikan pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif.
Berbicara pada pendukungnya di London, Pemimpin Partai Kemerdekaan Inggris Nigel Farage mengatakan bahwa 23 Juni harus tercatat di dalam sejarah Inggris sebagai "hari kemerdekaan kita."