Dikepung Tentara, Digempur Serangan Udara 2 Pekan, Mengapa Marawi Tak Kunjung Dikuasai?
Apa yang menyebabkan militer Filipina belum berhasil sepenuhnya mengusir milisi?
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, FILIPINA - Upaya menguasai kembali sepenuhnya kota Marawi, Filipina, dari kelompok-kelompok perlawanan yang setia kepada kelompok yang menamakan diri Negara Islam (ISIS) sudah berlangsung dua pekan.
Militer Filipina mengerahkan tentara dibantu dengan serangan udara. Amerika Serikat juga sudah mengirim bantuan persenjataan berupa ratusan senapan mesin dan peluncur granat bagi tentara Filipina.
Meski sebagian besar Marawi sudah berada di tangan tentara pemerintah, masih ada kawasan-kawasan kota yang masih dikuasai kelompok perlawanan?
Apa yang menyebabkan militer Filipina belum berhasil sepenuhnya mengusir milisi?
Militer Filipina mengakui bertempur melawan milisi di wilayah perkotaan terbukti jauh lebih sulit dari yang diperkirakan.
"Kondisi lapangan di Marawi sangat berbeda, jadi kami harus melakukan sejumlah penyesuaian ... ini adalah pertempuran kota," kata Mayor Rowan Rimas, anggota marinir Filipina, kepada wartawan BBC di Marawi, Jonathan Head.
Tadinya jumlah milisi yang beroperasi di Marawi diperkirakan puluhan namun setelah pecah pertempuran pada akhir Mei, para pejabat militer yakin jumlah mereka mencapai ratusan.
Milisi tak hanya berasal dari Marawi tapi juga dari etnik Tausug dan Yakan di Kepulauan Sulu, yang juga dikenal sebagai basis kelompok militan Abu Sayyaf.
Informasi bergabungnya petempur dari etnik Tausug dan Yakan disampaikan Norodin Alonto Lucman, pemuka Muslim Marawi yang membantu menyelamatkan tak kurang dari 70 warga Kristen dari penggeledahan milisi.
Seperti 'tukang sihir'
Fakta ini membuktikan sudah ada aliansi antara kelompok-kelompok di Mindanao dan Sulu, yang semuanya sudah mengikrarkan sumpah setia ke kelompok yang menamakan diri Negara Islam (ISIS).
Pemimpin milisi di Marawi adalah Isnilon Hapilon, yang juga adalah panglima militer Abu Sayyaf.
Namun faktor utama di balik kekuatan milisi di Marawi adalah Maute bersaudara, anggota klan terhormat keluarga Maranao, yang mengenyam pendidikan di Timur Tengah.
Omar Solitario, mantan petempur Moro yang sekarang menjadi politikus dan pebisnis di Marawi, mengatakan kelompok milisi sangat pintar merekrut anak-anak muda.
"Cara mereka merekrut anak-anak muda seperti tukang sihir," kata Solitario.
"Mereka mencoba menginfiltrasi sekolah-sekolah terbaik. Gerakan mereka seperti virus, Anda tak bisa menghentikannya hanya dengan senjata," katanya.
Fakta ini membuktikan sudah ada aliansi antara kelompok-kelompok di Mindanao dan Sulu, yang semuanya sudah mengikrarkan sumpah setia ke kelompok yang menamakan diri Negara Islam (ISIS).
Pemimpin milisi di Marawi adalah Isnilon Hapilon, yang juga adalah panglima militer Abu Sayyaf.
Namun faktor utama di balik kekuatan milisi di Marawi adalah Maute bersaudara, anggota klan terhormat keluarga Maranao, yang mengenyam pendidikan di Timur Tengah.
Omar Solitario, mantan petempur Moro yang sekarang menjadi politikus dan pebisnis di Marawi, mengatakan kelompok milisi sangat pintar merekrut anak-anak muda.
"Cara mereka merekrut anak-anak muda seperti tukang sihir," kata Solitario.
"Mereka mencoba menginfiltrasi sekolah-sekolah terbaik. Gerakan mereka seperti virus, Anda tak bisa menghentikannya hanya dengan senjata," katanya.
Baik Lucman maupun Solitario memiliki hubungan keluarga dengan Maute bersaudara dan keduanya diminta pemerintah Filipina untuk menjadi mediator, namun milisi pimpinan Maute tak tertarik berdialog.
'Ingin jihad'
Bagi anak-anak muda yang menjadi anggota kelompok militan, generasi lama yang berhasil meneken perjanjian damai dengan pemerintah dianggap terlalu lunak dan 'tak teguh memegang perjuangan'.
Generasi baru yang frustrasi ini memilih jalan berbeda, jalan yang lebih keras.
Lucman bertemu dengan anak-anak muda ini dan meminta mereka menghentikan perjuangan dengan imbalan akan dilindungi oleh komunitas Muslim di Marawi.
"Mereka menjawab, mereka ingin jihad. Mereka ingin mati ... mendengar jawaban ini saya berkesimpulan tak ada lagi yang bisa saya lakukan," kata Lucman.
Jawaban itu mengisyaratkan kondisi mental yang membuat para petempur tak mudah menyerah dan akan melawan hingga mati.
Di luar itu, milisi menerapkan taktik menempatkan penembak jitu di berbagai gedung yang mereka kuasai di Marawi.
Kantor berita Reuters memberitakan bahwa dari sisi logistik, milisi sudah menimbun senjata dan makanan yang membantu mereka bisa bertahan lebih lama.
Warga sipil yang terjebak di wilayah yang dikuasai milisi membuat militer enggan untuk melancarkan serangan besar-besaran untuk menumpas mereka.