Kotak Putih di Jepang Bukan Tempat Sampah Tapi untuk Barang dan Buku Porno Sebelum Didaur Ulang
Buku-buku yang sudah tidak terpakai terutama buku porno dibuang di kotak surat putih (shiroi posuto) lalu didaur ulang.
Editor: Dewi Agustina
Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Jepang
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Ini terjadi di Jepang. Buku-buku yang sudah tidak terpakai terutama buku porno dibuang di kotak surat putih (shiroi posuto) lalu didaur ulang. Kemudian jadi kertas baru lagi atau jadi karton baru atau produk kertas lain.
Hal ini dilakukan agar buku-buku tersebut tidak terbaca anak kecil.
Bentuknya memang mirip kotak pos surat biasa yang ada di Jepang.
Kotak pos biasa warna merah atau oranye biasanya untuk kirim surat memang ada di banyak tempat di Jepang tetapi kali ini kotak pos putih. Hati-hati, itu bukan untuk kirim surat.
"Kotak pos putih sebenarnya ada di Amagasaki sejak tahun 1961," ujar pejabat Pemda Amagasaki, Yanagita dan Miki.
Di dalam Stasiun Amagasaki saja pada tahun 1980 ada di 8 lokasi disediakan kotak pos putih bagi para pemilik buku atau benda porno yang mau membuang barangnya itu.
Meskipun demikian kotak pos putih bukanlah tempat sampah, sehingga ada beberapa kotak pos putih memberikan keterangan besar di luarnya, "Ini Bukan Tempat Sampah!"
Saat ini di berbagai sudut Kota Amagasaki ada 13 lokasi kotak putih. Pada saat barang porno dikeluarkan, dikumpulkan, beratnya bisa mencapai 130 kilogram.
Setahun mencapai sekitar 6000 buku atau benda porno harus didaur ulang dari kotak pos putih tersebut.
Dulu mungkin buku porno banyak ditemukan di dalam kotak putih yang berkunci. Kini ada sekitar 60 persen DVD dan 40 persen buku porno.
"Ada pula barang-barang terkait porno, misalnya alat perangsang karet dan sebagainya. Kotak pos putih banyak diletakkan di tempat umum. Misalnya di dekat supermarket umum, di stasiun kereta api dan sebagainya," kata dia.
Kota Amagasaki di sebelah tenggara Perfektur Hyogo Jepang, dari dulu terkenal dengan dunia seks dan porno, tempat PSK berkumpul serta bercampur orang miskin.
"Tempat kumuh", begitulah julukan banyak orang Jepang terhadap kota tersebut sehingga biaya kehidupan dan persewaan rumah menjadi murah, karena citra yang kurang baik tersebut.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.