Pelaku TPPU Tak Bisa Beraksi Lagi di Swiss
Para pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) seperti korupsi dan penggelapan pajak saat ini sudah tidak bisa melakukannya lagi di Swiss.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, SWISS – Para pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) seperti korupsi dan penggelapan pajak saat ini sudah tidak bisa melakukannya lagi di Swiss.
Alasannya, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) segera menandatangi perjanjian bantuan hukum timbal balik atau Mutual Legal Assistance (MLA) Treaty yang kini masih dalam proses perundingan.
Direktur Otoritas Pusat dan Hukum Internasional (OPHI) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Cahyo R. Muzhar mengatakan, MLA Treaty adalah suatu platform dasar bagi negara untuk bekerja sama dalam penegakan hukum tindak pidana yang meliputi tahap penyidikan, penuntutan, maupun eksekusi atas putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap atau inkrah. Hanya saja, MLA belum meliputi ekstradisi karena terkait pelakunya.
“MLA Treaty diharapkan belaku untuk semua jenis-jenis tindak pidana. Namun ada azaz prinsip dinamakan dual criminality atau kriminalitas ganda dalam MLA Treaty. Hal ini berarti, pemerintah Indonesia dan Swiss dapat melakukan kerjasama hukum jika tindakan atau perbuatannya dianggap sebagai unsur tindak pidana menurut hukum di Indonesia dan Swiss,” kata Cahyo yang memimpin juru runding delegasi Indonesia, Selasa (5/9/2017).
Cahyo mengatakan, bila asas dual criminality tidak dipenuhi oleh negara yang menyepakati perjanjian, hal itu bukan berarti pelaksanaan MLA Treaty tidak berlaku.
Sebab, ada dua jenis bantuan dalam MLA Treaty yang tidak memerlukan upaya paksa. Prinsip asas dual criminality bisa dikesampingkan.
Sedangkan untuk bantuan memerlukan upaya paksa penggeledehan, blokir, sita, dan perampasan, upaya paksa asas dual criminality dapat dilakukan jika tidak dipenuhi,” tuturnya.
Cahyo juga menyinggung tantangan dalam penerapan MLA Treaty. “Salah satu tantangan isu yang cukup mendapatkan perhatian dan didiskusikan secara intensif terkait isu HAM dari hak-hak pemenuhan proses hukum di Indonesia,” tambahnya.
Menurut Cahyo, draf MLA Treaty sekaligus sebagai babak baru kerja sama penegakkan hukum Indonesia-Swiss. Perjanjian itu juga merupakan bagian sukses pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam penegakan hukum timbal balik atau MLA.
Pemerintahan Swiss sendiri sangat berkomitmen memastikan negaranya bukanlah surga bagi pelaku pencucian uang hasil kejahatan. Indonesia-Swiss sudah berkomiten untuk menyelesaikan perjanjian melakukan pemberantasan korupsi serta membawa kembali aset hasil korupsi yang disimpan di luar negeri.
Bahkan, MLA Treaty tidak hanya terbatas pada masalah korupsi. Sebab, kesepakatan itu meliputi kerja sama tindak pidana perpajakan.
Selain itu, MLA juga untuk melengkapi program pemerintah dalam upaya memastikan tidak adanya warga negara atau badan hukum Indonesia yang melakukan penggelapan pajak atau kejahatan perpajakan lainnya.
“Di samping itu perjanjian MLA dapat menjangkau tindak pidana yang dilakukan sebelum berlakunya perjanjian, dan membuka seluas-luasnya penyelesaian kasus-kasus Kriminal di masa lalu termasuk putusan pengadilannya belum dilaksanakan (pending execution of judgment, red),” tutur Cahyo.
Saat ini, Cahyo menambahkan juru runding dari kedua negara telah bertemu pada perundingan kedua di Bern, Swiss pada 31 Agustus lalu. “Kedua negara telah menyelesaikan isi perjanjian dalam draf MLA Treaty Indonesia-Swiss,” ujarnya.