Indonesia Dinilai Bisa Petik Pelajaran dari Terpilihnya Halimah Yacob Sebagai Presiden Singapura
Warga Singapura menyambut baik hal ini, meski ada pula yang mengkritisinya. Apa pelajaran yang bisa dipetik Indonesia dari hal ini?
Editor: Hasanudin Aco
Singapura hari Rabu (13/9/2017 akan memiliki presiden baru. Presiden perempuan pertama dan sekaligus presiden pertama dari kelompok etnis Melayu dalam lima puluh tahun. Warga Singapura menyambut baik hal ini, meski ada pula yang mengkritisinya. Apa pelajaran yang bisa dipetik Indonesia dari hal ini?
TRIBUNNEWS.COM, SINGAPURA - Halimah Yacob, perempuan etnis Melayu berusia 63 tahun, hari Rabu (13/9) akan ditetapkan menjadi presiden Singapura. Elections Department – semacam komisi pemilihan umum di Singapura – dijadwalkan akan menyampaikan pernyataan resmi yang menjadikan Halimah Yacob sebagai presiden kedelapan city-state itu.
“Saya sungguh gembira bahwa Mdm. Halimah Yacob berjaya mendapat sertifikat ini karena ia sudah lebih dari mencukupi memenuhi kriteria untuk menjadi presiden. Saya gembira luar biasa dapat tahu berita ini dan pada masa ini hanya ada satu calon, yaitu Mdm. Halimah Yacob untuk jadi presiden Singapura,” ungkap Saleemah Ismail.
Sebagian Warga Singapura Kritisi “Reserved Elections”
Pandangan Saleemah Ismail, aktivis perempuan yang mengenal dekat sepak terjang Halimah Yacob ini, bisa jadi mencerminkan sikap sebagian besar warga Singapura. Tetapi sebagian lainnya mengkritisi sistem pemilu yang hanya memberi kesempatan pada kelompok tertentu atau disebut sebagai “reserved elections” tersebut. Salihin Sulaiman, salah seorang warga Singapura, mengatakan pada VOA, andaikan sistemnya dibuat terbuka maka legitimasi Halimah Yacob akan lebih kuat.
“Saya rasa semua bercampur. Gembira karena Halimah Yacob seseorang yang sudah dikenal kalibernya sebagai pemimpin, terbukti kelayakannya. Tetapi yang kurang senang adalah karena ini reserved presidency. Ada yang merasa kenapa tidak dibuka saja seperti pemilu biasa, dan bukan di-reserved seperti sekarang, sehingga ia bisa bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Karena ini bersangkut paut dengan meritocracy di Singapura. Jadi mereka kurang gembira karena prosesnya kurang adil, tetapi orangnya tepat. Secara pukul rata semua orang mengaku ia layak dan sepatutnya diberi peluang bersaing secara terbuka. Tetapi andaikan ia terpilih secara terbuka, akan lebih kuat legitimasinya,” kata Salihin Sulaiman.
Baca: Ini Alasan Presiden Terpilih Singapura Halimah Yacob Pilih Tinggal di Rusun
Tetapkan “Reserved Elections”, Pemerintah Singapura Beri Kesempatan pada Kelompok Etnis Melayu
Pemerintah Singapura pada November 2016 lalu melakukan amandemen konstitusi yang memperbolehkan pelaksanaan pemillu untuk kelompok ras atau etnis tertentu, jika tidak ada tokoh dari kelompok itu yang menjadi presiden dalam lima kali masa jabatan presiden.
Kebijakan ini disebut “reserved elections atau reserved presidency”. Elections Department kemudian memperketat kriteria pemilu presiden ini dengan tambahan persyaratan bahwa kandidat dari sektor swasta harus pernah menjadi eksekutif senior di perusahaan dengan ekuitas sedikitnya 500 juta dolar Singapura atau sekitar 4,8 miliar rupiah.
Dari lima calon yang ada, dua dianulir pada awal pemilu karena bukan berasal dari etnis Melayu. Dua calon terakhir – Mohamed Salleh Marican dan Farid Khan – gagal memperoleh sertifikasi kelayakan yang dibutuhkan karena nilai ekuitas perusahaan mereka dinilai tidak cukup besar.
Hanya Halimah Yacob satu-satunya calon yang memperoleh sertifikasi kelayakan dari Presidential Election Committee PEC dan Community Committee, dan karena hanya ada satu calon maka ia langsung menjadi presiden tanpa perlu melanjutkan proses pemilu selanjutnya.
Negara Dinilai Berhak Tetapkan Sistem Politik & Mekanisme Pemilu yang Sesuai
Pengamat hubungan internasional dari Universitas Bina Nusantara Prof. Tirta Nugraha Mursitama menilai sistem politik dan mekanisme pemilu seperti ini sah saja.