Pemerintah Myanmar Prihatin dengan Krisis Kemanusiaan Rohingya
Pemerintah Myanmar mengaku ikut prihatin atas konflik yang terjadi di Rakhine, Myanmar.
Penulis: Ruth Vania C
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, YANGON - Pemerintah Myanmar mengaku ikut prihatin atas konflik yang terjadi di Rakhine, Myanmar.
Menurut laporan PBB, Selasa (12/9/2017), sudah ada sebanyak 370 ribu orang atau lebih dari sepertiga jumlah populasi penduduk Rohingya di Myanmar, mengungsi di Bangladesh.
Myanmar menerima kritik dari komunitas internasional, termasuk dari AS yang mendesak perlindungan terhadap warga sipil.
Washington mengatakan membanjirnya pengungsi Rohingya akibat konflik di Rakhine menunjukkan bahwa pasukan Myanmar sebenarnya tak melindungi warga sipil.
Pernyataan tersebut kemudian disusul komentar Kementerian Luar Negeri Myanmar yang menyatakan keprihatinan terhadap konflik di Rakhine.
"Pemerintah Myanmar sepenuhnya ikut merasakan keprihatinan komunitas internasional," demikian pernyataan Kementerian Luar Negeri Myanmar.
Baca: Bangladesh Desak Myanmar Pulangkan Pengungsi Rohingya
Keprihatinan dirasakan Pemerintah Myanmar atas " pengungsian dan penderitaan semua pihak yang terdampak oleh konflik kekerasan akhir-akhir ini yang dipicu oleh aksi-aksi terorisme".
Kementerian Luar Negeri Myanmar juga menambahkan bahwa pasukan Myanmar saat ini sedang menumpas militan pemberontak Rohingya yang menyerang pos-pos polisi dan pangkalan militer di Rakhine.
Pasukan Myanmar dipastikan telah melakukan yang terbaik untuk tidak membahayakan warga sipil.
Pemerintah Bangladesh mendesak Myanmar untuk memulangkan sekitar 370 ribu pengungsi Rohingya ke Rakhine.
Pemimpin Politik Myanmar, Aung San Suu Kyi, mengatakan pemerintah mengupayakan yang terbaik untuk melindungi semua orang dari konflik.
Namun, Suu Kyi tidak mengacukan kalimatnya secara langsung pada warga Rohingya, yang selama ini dianggap menjadi korban dalam konflik itu.
Suu Kyi menuai kritik dan kecaman karena dianggap bungkam terhadap perlakuan Myanmar terhadap warga Rohingya, yang dinilai kerap menerima diskriminasi. (Reuters/Globe and Mail).