Imigran Tak Berdokumen di AS Jadi Pion Politik Dalam Agenda Trump
Puluhan unjuk rasa berlangsung di AS setelah Pemerintahan Trump mengumumkan pada awal September bahwa pihaknya akan membatalkan DACA
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM - Di Amerika Serikat, migran yang tidak berdokumen mendominasi berita utama. Dan meski wajah mereka sebagian besar terlihat seperti orang Amerika Latin, diperkirakan 1,7 juta di antaranya berasal dari Asia.
Semasa pemerintahan Presiden Obama, anak-anak yang tidak berdokumen yang tiba di Amerika Serikat diberi amnesti. Ini memberi mereka hak hukum sementara untuk bekerja, bersekolah dan bahkan bertugas di militer. Program ini dikenal dengan DACA atau Tindakan Penangguhan untuk Kedatangan Anak.
Program ini memungkinkan imigran muda yang tak berdokumen hidup secara normal. Tapi sekarang, karena pemerintahan Trump mengirimkan sinyal beragam tentang masa depan mereka, kaum muda ini lebih rentan dari sebelumnya.
Lalu, bagaimana kisah mereka? Berikut selengkapnya seperti dilansir dari Program Asia Calling produksi Kantor Berita Radio (KBR).
Di tengah lautan jins dan kaos, Marcella, 26 tahun, terlihat menonjol dengan jaket lab putihnya. Dia adalah satu dari ratusan pengunjuk rasa yang berbaris di dekat pusat kota Los Angeles, California. Mereka datang untuk mendukung Tindakan Penangguhan untuk Kedatangan Anak atau DACA.
Puluhan unjuk rasa berlangsung di seluruh Amerika Serikat setelah Pemerintahan Trump mengumumkan pada awal September bahwa pihaknya akan membatalkan DACA. Program ini memberikan status hukum sementara kepada sekitar 800 ribu laki-laki dan perempuan muda yang dibawa ke Amerika Serikat saat mereka masih anak-anak.
Jaksa Agung Jeff Sessions mengumumkannya secara resmi. “Saya hadir di sini pada hari ini untuk mengumumkan bahwa program DACA, yang berlaku di bawah Pemerintahan Obama, dibatalkan,” katanya.
Sebagian besar keprihatian difokuskan pada kaum muda asal Amerika Latin. Padahal orang Asia adalah kelompok imigran tak berdokumen yang paling tinggi pertumbuhannya di Amerika Serikat.
Satu dari tujuh imigran Asia di sana tidak berdokumen. Ini menurut penelitian yang dilakukan oleh AAPI Data, sebuah lembaga penelitian yang fokus pada orang Amerika keturunan Asia dan Kepulauan Pasifik.
Marcella, yang minta nama lengkapnya tidak ditulis untuk melindungi identitasnya, datang ke Amerika Serikat bersama keluarganya dari Tiongkok pada usia 12 tahun.
Lima tahun yang lalu, saat berusia 21 tahun, Marcella menjadi apa yang dikenal dengan DACAmented.
Perubahan status imigrasi ini memberi dia status hukum di Amerika Serikat untuk kali pertama. Ini segera membuka peluang kerja dan sekolah dan memberinya kesempatan untuk membangun kehidupan di sini.
Dan ini menjelaskan mengapa dia mengenakan mantel lab putih di lautan jins dan kaos pada demonstrasi pro-DACA ini.
“Saya bisa menyelesaikan banyak hal. Saya bisa menjadi mahasiswa kedokteran agar bisa menjadi menjadi dokter,” ungkap Marcella.
Marcella bukan satu-satunya yang bercita-cita tinggi dan belajar dengan keras.
Dalam studi terbesar penerima DACA, lembaga Center for American Progress menemukan bahwa 97 persen dari mereka yang disurvei sedang bekerja atau bersekolah.
Sejak menjadi presiden, Donald Trump yang kampanyenya mengusung kebijakan anti-imigrasi garis keras, menggambarkan DACAmented sebagai “luar biasa.”
“Situasi DACA ini merupakan hal yang sangat sulit bagi saya, karena Anda tahu saya mencintai anak-anak ini,” ujar Trump.
Tapi Donald Trump sebagai calon presiden tidak mencintai anak-anak DACA. Pada Juni 2015, dia berjanji akan membatalkan tindakan yang diperkenalkan oleh bekas Presiden Barack Obama ini. “Saya akan segera menghentikan dua amnesti eksekutif ilegal Presiden Obama.”
Trump telah mendorong Kongres, lewat twitter, untuk membuat undang-undang tentang masalah ini. Dan kemudian, beberapa pekan lalu, Trump bertemu dengan pemimpin Demokrat Nancy Pelosi dan Chuck Schumer untuk membuat kesepakatan. Kompromi potensial ini membuat marah kedua belah pihak.
Tapi pada intinya dia hanya bicara dan berkicau. Tidak ada peraturan baru yang diajukan, apalagi disetujui.
Marcella dan anak-anak DACA lainnya mengatakan mereka merasa seperti pion politik. “Kondisinya berbeda-beda setiap hari. Seperti suatu hari Anda beristirahat dengan mudah dan keesokan harinya Anda tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi,” katanya.
Saat mendaftar ke DACA, orang muda memberikan informasi tentang keberadaan mereka. Ini menimbulkan kekhawatiran mereka akan lebih rentan terhadap Penegakan Imigrasi dan Bea Cukai jika DACA berakhir.
Kembali ke unjuk rasa, Marcella yang berjas lab putih, membawa tulisan “Seorang yang tidak berdokumen / pelajar DACA mungkin akan menyelamatkan hidup Anda suatu hari nanti.”
Marcella bertekad untuk terus maju dalam unjuk rasa ini dan juga hidupnya, meski ada kekhawatiran akan deportasi.