Badan Meteorologi Jepang Pasang 300 Pendeteksi Sensitif Antisipasi Gempa Bumi
Badan Meteorologi Jepang memasang sedikitnya 300 pendeteksi sensitif di berbagai lokasi di Jepang untuk mendeteksi gempa bumi di seluruh lokasi.
Editor: Dewi Agustina
Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Jepang
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Badan Meteorologi Jepang (JMA) memasang sedikitnya 300 pendeteksi sensitif di berbagai lokasi di Jepang untuk mendeteksi gempa bumi di seluruh lokasi di Jepang.
Selain itu juga pemda juga memasang alat deteksi tambahan, NIED (National Research Institute for Earth Science and Disaster Resilience) serta JAMSTEC (Japan Agency for Marine Earth Science and Technology).
Institusi pemerintahan lain juga dengan total lebih dari 1.500 pendeteksi yang terkoordinasi satu sama lain dengan sangat baik.
"Pendeteksi JMA sendiri ada sedikitnya di 300 lokasi ditambah institusi pemerintah yang lain bisa lebih dari 1500 lokasi di Jepang ini, banyak sekali," kata Akio Ikeda, Pengawas Utara JMA kepada Tribunnews.com, Rabu (17/10/2018) bersama tiga staf lainnya di kantor JMA.
Tiap pendeteksi tersebut berjarak sekitar 20 km satu sama lain dan dipasang tidak hanya di daerah pinggiran laut, tetapi juga di lokasi pegunungan di tengah Pulau Honshu misalnya, dari Hokkaido sampai dengan Okinawa.
"Dengan pendeteksi yang ada itu kita dapat data langsung sekecil apa pun apabila ada gempa bumi muncul di Jepang. Demikian pula pendeteksian tsunami seandainya muncul pula nantinya," tambahnya.
Di lokasi tempat pendeteksi atau sensor pendeteksi getaran bumi tersebut sampai saat ini tak pernah ada kasus yang dicuri orang lain.
"Semua aman baik masih ada sejak dulu hingga kini di tempatnya masing-masing, tak pernah ada kasus pencurian pendeteksi gempa bumi tersebut," kata dia.
Lalu bagaimana antisipasi agar hal tersebut tidak dicuri?
Baca: Teka-teki Hilangnya Khashoggi, Erdogan Menduga Sejumlah Ruangan di Konsulat Saudi Sudah Dicat Ulang
"Kalau di Jepang semua warganya merasa memiliki barang tersebut sehingga bersama-sama dijaga dan dirawat dengan baik. Bisa juga dipagari kawat atau tembok, kalau perlu dibangun seperti rumah kecil taruh di dalamnya lalu dikunci. Bisa juga pakai CCTV, tapi kalau hilang ya belum tentu kembali. Mungkin paling efektif ya tempatkan satu polisi di sana kalau ketakutan hilang," jelasnya.
Lokasi penempatan alat pendeteksi gempa bumi JMA tidak semuanya gratis milik tanah pemerintah.
Ternyata banyak yang milik swasta dan ada yang ditaruh di dalam lingkungan sekolah.
"Ya kita bayar walaupun sangat murah tiap bulan jadi seperti sewa tanah, maka biaya cukup besar untuk sewa tanah tersebut per tahunnya," kata dia.
Ikeda juga mengakui untuk pendeteksi tsunami yang ditaruh di lautan guna mengetahui ketinggian air dan datangnya tsunami, sempat terjadi kasus pencurian alat tersebut di Jepang.
"Tapi setelah ketahuan ternyata pencurinya hanya ingin tahu saja isi dalam dari alat pendeteksi tersebut, bukan untuk dijual kiloan dan sebagainya," ujar dia.
Data gempa bumi yang diperoleh JMA dari sumber asalnya hanya satu detik saja diterima lalu 2 menit kemudian dapat kejelasan yang detil mengenai lokasi gempa kekuatan dan sebagainya.
Secara otomatis JMA juga melihat kemungkinan tsunami dalam kurun waktu dua tiga menit tersebut yang kemudian mengeluarkan data langsung ke masyarakat lewat berbagai saluran dan aplikasi serta internet.
"Dengan kecepatan informasi ke masyarakat diharapkan dalam waktu sekitar 3 menit sampai 5 menit masyarakat ada waktu untuk menghindar ke tempat aman dan apabila tsunami ke lokasi yang lebih tinggi," tambahnya.
Baca: Ustaz Bustami Dipecat Yayasan, Ratusan Santri di Langsa Barat Mengamuk
Pemberitahuan ke masyarakat biasanya kalau kekuatan gempa bumi mencapai 4 SR, karena skala 1 sampai 3SR dianggap masih aman di Jepang tidak menimbulkan kerugian apa pun.
Setelah gempa berkekuatan 4 SR atau mendekati 4 SR maka langsung diumumkan ke berbagai saluran di masyarakat.
Kalau sudah lebih dari 6 SR biasanya langsung juga masauk secara otomatis ke ponsel setiap warga yang ada di Jepang khususnya ponsel yang berfungsi di Jepang.
"Kalau ponsel luar negeri dan tak bisa dipakai di Jepang mungkin tanda bahaya itu tidak akan muncul di ponsel tersebut," ungkap Ikeda.
Belum lama ini 6 September 2018 ketika gempa bumi menghantam Hokkaido cukup besar dengan kekuatan 6,7 SR, ponsel Tribunnews.com otomatis berbunyi sangat kencang "Jishin desu" (Gempa) sebanyak tiga kali.
Di manner mode (silent) sekali pun dini hari pagi ponsel itu tetap berbunyi sangat kencang.
Inilah sistem peringatan diri (EEW) bencana alam di Jepang selama ini.
Penyiaran bencana alam, baik gempa bumi, tsunami dan sebagainya merupakan keharusan bagi NHK yang sahamnya mayoritas dimiliki pemerintah Jepang.
"Kalau televisi swasta lain itu tergantung keputusan mereka sendiri, tetapi umumnya semua langsung berlangganan data bencana ke bagian pelayanan JMA. Sehingga data bencana alam segera dapat mereka akses dan bisa disiarkan ke semua televisi atau media swasta lainnya juga," ujarnya.
Lalu bagaimana kerja di dalam JMA sendiri untuk menjaga semua sumber data bencana alam yang tiba bisa datang setiap waktu?
Baca: Iswandi Pasrah saat Lumpur Menyedot Rumahnya: Kalau Allah Mau Cabut Nyawa, Saya Ikhlas
"Kita punya lima tim di mana satu tim ada 11 orang yang berjaga selama 24 jam bergantian. Misalnya tim A sebanyak 11 orang berjaga 24 jam bergantian hari Senin, lalu tim B juga sebanyak 11 orang hari Selasa dan seterusnya," jelasnya.
Dengan operasi 24 jam tersebut semua data akan masuk terdata dan dimonitor dengan baik.
"Kita sudah biasa dengan hal ini, menanggapi secara cepat karena kalau terlambat akan semakin parah korban dan kerugiannya. Jadi faktor manusia dan kecepatan juga sangat penting mengantisipasi bencana alam seperti gempa bumi yang bisa datang sewaktu-waktu di mana pun juga," jelasnya.
Semua karyawan JMA telah dilengkapi dengan standar operasi kerja harus melakukan apa dan bagaimana serta tepat waktu sehingga data yang masuk langsung diantisipasi dengan cepat.
Apakah ada data yang error atau tidak benar masuk, lalu bagaimana mengantisipasinya?
"Kalau ada data yang aneh meragukan, bisa saja karena adanya gangguan saluran kabel dan sebagainya, maka langsung kita periksa dulu secara serius sebelum diumumkan lebih lanjut," ujar dia.
Beberapa waktu lalu di tahun 2018 ini PM Jepang sempat bingung melihat ponselnya karena ada data gempa besar.
Ternyata salah perhitungan, dua gempa datang bersamaan, getaran secara otomatis bertambah (dua kali lipat) sehingga kelihatan terjadi gempa besar.
"Benar itu sempat terjadi itu kesalahan perhitungan dan telah kita koreksi akurasi pendeteksian gempa tersebut. Gempa datang pada waktu yang benar-benar bersamaan, pendeteksi salah hitung sehingga muncul gempa seolah sangat besar sekali," jelasnya.
Jepang yang sudah sangat canggih sekali pun dengan pendeteksi gempa dan alat-alatnya ternyata memang sempat kecolongan dengan kesalahan hitung data gempa yang masuk.
Oleh karena itu bukan hanya alat yang perlu diperiksa keakurasiannya lebih lanjut, kedisiplinan dan kecepatan tenaga kerja dalam bertindak sangat penting bagi penjaga data bencana alam sejak awal tersebut.
Cek dan ricek sebelum data tersebar luas ke masyarakat.