Kisah Seorang Ibu di India yang Jual Rambut Rp 28.000 untuk Beli Makan Anaknya yang Kelaparan
Ibu berusia 31 tahun yang bermukim di Distrik Salem, Negara Bagian Tamil Nadu, India, ini tidak punya apa pun untuk memberi makan putranya.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, NEW DELHI - "Putra saya Kaliyappan yang berusia tujuh tahun baru tiba dari sekolah dan meminta makan. Dia kemudian menangis karena kelaparan," kata Prema Selvam.
Ibu berusia 31 tahun yang bermukim di Distrik Salem, Negara Bagian Tamil Nadu, India, ini tidak punya apa pun untuk memberi makan putranya.
Dia merasa putus harapan.
Bahkan, hari itu, Jumat 3 Januari 2020, dia tidak memasak karena kehabisan bahan makanan.
Setelah serangkaian kejadian tragis, Prema sampai pada titik terendahnya.
Dia mempertimbangkan untuk melakoni aksi nekad, namun masyarakat di sekitarnya memberi tanggapan secara dramatis.
"Hancur hati saya"
"Saya tidak punya apa pun untuk diberikan. Hancur hati saya. Saya pikir apa gunanya hidup jika saya tidak bisa memberi makan anak-anak saya sendiri," paparnya kepada BBC.
Prema tidak punya barang berharga, perhiasan, atau bahkan peralatan dapur yang bisa ditukar dengan uang.
"Saya bahkan tidak punya 10 rupee (Rp 2.000). Saya hanya punya beberapa ember plastik."
Dia lantas menyadari dirinya punya sesuatu yang bisa dijual.
Baca: Transplantasi Rambut Sebagai Solusi Atasi Kebotakan
Menjual rambut
"Saya teringat sebuah toko yang biasa membeli rambut. Saya ke sana dan menjual seluruh rambut di kepala saya seharga 150 rupee (Rp 28.000)," kata Prema.
Rambut manusia diperdagangkan di seluruh dunia dan India merupakan eksportir utama.
Sebagian umat Hindu di India kerap menyerahkan rambut mereka di kuil-kuil sebagai tanda berterima kasih karena doa mereka dikabulkan.
Rambut-rambut yang dijual kemudian dipakai sebagai perpanjangan rambut orang lain.
Suami bunuh diri
Uang yang diterima Prema dari menjual rambutnya cukup untuk membeli makan siang di sebuah restoran kelas menengah di kota besar. Namun, di desanya, dia bisa membeli banyak hal.
"Saya membeli tiga bungkus nasi matang, yang satunya seharga 20 rupee (Rp3.800) untuk ketiga anak saya," tutur Prema.
Untuk sesaat, Prema dan ketiga anaknya bisa makan. Namun, Prema tahu dia sudah kehilangan opsi terakhir dan mulai khawatir bagaimana cara menyediakan makanan selanjutnya.
Selama bertahun-tahun dia bekerja bersama suaminya di pabrik batu bata dan mereka punya cukup uang untuk sekadar makan.
Suaminya mengambil pinjaman untuk memulai usaha pembuatan batu bata secara mandiri, namun rencana itu tidak berhasil dan frustrasi memuncak.
Pria tersebut tidak pernah mampu mendapatkan cukup uang dan mengalami depresi. Dia lantas bunuh diri tujuh bulan lalu dengan membakar dirinya sendiri.
Prema mempertimbangkan untuk mengikuti jejak sang suami setelah menjual rambutnya.
Upaya bunuh diri Prema
"Saya ke toko dan meminta racun serangga."
Namun, ketika melihat Prema dalam kondisi linglung, penjaga toko justru mengusirnya.
Dia kemudian pulang ke rumah dan memutuskan mencoba cara lain. Dia mengambil biji tanaman oleander dan mulai menggilingnya menjadi lembut.
Tiba-tiba kakak Prema yang tinggal di satu kawasan permukiman mampir ke rumah dan mencegah Prema menelan ramuan beracun itu.
Prema mengaku tekanan untuk mengembalikan uang yang dipinjam suaminya telah menghancurkannya.
Kerja berat
Prema adalah satu-satunya pencari nafkah di keluarganya setelah suaminya tiada. Seperti mendiang suaminya, Prema membuat batu bata—pekerjaan yang sangat melelahkan namun penghasilannya lebih baik ketimbang bertani.
"Saat saya bekerja, saya mendapat 200 rupee (Rp38.500) per hari, yang cukup untuk keperluan keluarga saya," kata Prema.
Biasanya Prema membawa dua putranya yang masih kecil ke lokasi kerja karena mereka belum cukup umur untuk bersekolah.
Namun selama tiga bulan sebelum memutuskan menjual rambutnya, Prema kerap sakit sehingga tidak bisa memperoleh uang sebanyak biasanya.
"Saya tidak bisa membawa batu bata yang berat. Saya tinggal di rumah karena demam."
Utang menumpuk
Karena tidak bekerja, Prema mulai gagal membayar utangnya tepat waktu. Ketika pemberi utang mulai mendesak, frustrasinya meningkat.
Prema buta huruf dan tidak tahu bahwa pemerintah India punya sejumlah cara untuk menolong orang seperti dirinya.
Sistem perbankan formal di India dipenuhi aturan rumit sehingga sulit bagi kaum papa untuk mengakses pinjaman dengan bunga rendah.
Prema dan suaminya meminjam uang dari rentenir setempat dan tetangga-tetangganya.
Karena itu, biaya pinjaman mahal dan bunganya tinggi.
Selagi Prema kerap sakit dan kian sulit mendapat uang, dia tenggelam dalam keputusasaan.
Pada momen itulah dia memutuskan menjual rambutnya dan bahkan mencoba bunuh diri.
Bantuan dari orang tak dikenal
Beberapa hari setelah Prema mencapai titik terendahnya, seorang tak dikenal muncul tanpa diduga—yang belakangan mengakhiri keputusasaan Prema.
"Saya tahu Prema dari teman saya, Prabhu, yang punya pabrik batu bata di area itu," kata Bala Murugan.
Kisah perjuangan Prema mengingatkan Bala pada masa-masa kelam keluarganya. Bala tahu persis betapa kemiskinan bisa mendorong orang ke jurang depresi.
"Saat saya berumur 10 tahun, keluarga saya kehabisan makanan. Ibu saya menjual buku-buku dan koran bekas yang harganya ditentukan oleh berat di timbangan. Uangnya dibelikan nasi," tuturnya.
Dalam kondisi patah arang, ibu Bala ingin mengakhiri hidupnya dan keluarganya.
Bala mengingat bagaimana ibunya menjajarkan dia dan adik-adik perempuannya. "Ibu saya menenggak beberapa pil dan, ketika adik saya hendak menelan pil-pil itu, ibu saya menghentikannya."
Ibu Bala berubah pikiran pada saat-saat akhir.
Keluarga Bala lantas melarikan sang ibu ke seorang dokter yang berhasil menyelamatkan hidupnya.
Seusai insiden itu, dan setelah bertahun-tahun berjuang, Bala mampu keluar dari lingkaran kemiskinan dan kini memiliki sebuah pusat grafis komputer.
Nasihat bersahabat
Bala menceritakan kepada Prema tentang kisahnya dan mendorong Prema untuk menemukan harapan.
Bersama temannya, Prabhu, Bala memberikan sejumlah uang kepada Prema untuk membeli makanan. Lantas Bala menuliskan apa yang terjadi pada Facebook.
"Dalam sehari saya mendapat 120.000 rupee (Rp 23 juta). Saat saya menceritakan kepada Prema tentang hal itu, dia sangat senang dan berkata uang tersebut cukup untuk membayar utangnya."
Namun, atas permintaan Prema, penggalangan dana dihentikan.
"Dia berkata dia akan kembali bekerja dan membayar sisanya," ucap Bala.
Dia kini harus membayar sekitar 700 rupee (Rp 134.500) per bulan kepada pihak peminjam lainnya.
Pejabat daerah setempat turut bertindak dan berjanji untuk membantu Prema mendirikan gerai susu.
Sayangnya, kisah Prema bukanlah kisah yang unik. Meski India mengalami pertumbuhan ekonomi, jutaan orang seperti Prema harus berjuang untuk mendapatkan makanan di atas meja.
Berdasarkan data Bank Dunia, India adalah negara kedua di dunia yang memiliki orang sangat miskin di dunia (mereka yang menghasilkan kurang dari US$1,9/Rp26.000 per hari) setelah Nigeria.
Prema harus memberi makan empat mulut, dan bahkan pada hari-hari dia memperoleh uang, upahnya hanya cukup 72 sen per orang per hari.
Dia termasuk golongan orang termiskin di antara kaum miskin.
Kehidupan baru
Bala Murugan menjamin kepada Prema bahwa dirinya akan terus menyokong.
"Kini saya menyadari itu adalah keputusan yang salah [mencoba bunuh diri]. Saya percaya diri bisa membayar kembali sisa utang," kata Prema.
Prema mengaku dirinya kini merasa tidak percaya atas bantuan yang dia terima dari sejumlah orang tak dikenal, namun Prema menyambutnya dengan lapang dada. Dia mengatakan dukungan tersebut benar-benar telah memberinya energi.
Layanan bantuan
Bunuh diri bisa terjadi di saat seseorang mengalami depresi dan tak ada orang yang membantu.
Jika Anda memiliki permasalahan yang sama, jangan menyerah dan memutuskan mengakhiri hidup. Anda tidak sendiri.
Layanan konseling bisa menjadi pilihan Anda untuk meringankan keresahan yang ada.