Hong Kong Klaim Kembangkan Vaksin Virus Corona, China Sebut Bisa Selesaikan Kurang dari 40 Hari
Hong Kong butuh waktu selama kurang lebih satu tahun untuk mengembangkan vaksin virus corona, sementara China mengklaim kurang dari 40 hari.
Penulis: Pravitri Retno Widyastuti
Editor: Daryono
TRIBUNNEWS.COM - Peneliti Hong Kong mengklaim pihaknya telah mengembangkan vaksin untuk menyembuhkan pasien terinfeksi virus corona jenis baru atau 2019-nCoV.
Namun, ahli penyakit menular Profesor Yuen Kwok-yung, mengatakan masih harus membutuhkan beberapa waktu lagi untuk mengetes vaksin tersebut.
Dikutip Tribunnews dari SCMP, Rabu (29/1/2020), Yuen mengungkapkan saat ini timnya sedang mengerjakan vaksin dan telah mengisolasi virus corona.
"Kami sudah memproduksi vaksin, tapi akan butuh waktu lama untuk mengujinya pada hewan," terang Yuen, Selasa (28/1/2020).
Meski begitu, Yuen tak menjelaskan lebih lanjut mengenai kapan vaksin tersebut siap digunakan pada pasien.
Baca: Beredar Foto Hoaks Mayat Korban Virus Corona di WhatsApp, Sejumlah Orang Bergelimpangan di Jalan
Baca: Penampakan Kota 'Hantu' Wuhan dari Udara, Seorang Warga Ungkap Sulit untuk Keluar
Namun, Yuen menyebutkan proses pengetesan vaksin membutuhkan waktu berbulan-bulan.
Setidaknya, satu tahun lagi untuk melakukan uji klinis sebelum bisa digunakan.
Pengembangan vaksin virus corona oleh peneliti Hong Kong University ini berdasarkan vaksin influenza yang sebelumnya juga ditemukan oleh tim Yuen.
Para peneliti memodifikasi vaksin flu menggunakan bagian antigen permukaan virus corona.
Yang berarti bisa mencegah virus influenza dan juga virus corona jenis baru, yang menyebabkan pneumonia.
Jika berhasil diuji, vaksin tersebut bisa menjadi jawaban atas penyakit yang telah menginfeksi 6.000 orang tersebut.
Ahli penyakit menular di China, Li Lanjuan, pada Senin (27/1/2020) mengatakan vaksin virus corona ditargetkan bisa dibuat dalam kurun waktu sebulan.
Namun, Yuen mengungkapkan keraguannya.
Ia mengatakan, vaksin yang dikembangkan di China kemungkinan adalah vaksin virus tak aktif.
Vaksin itu terdiri dari virus yang tumbuh dalam budaya, yang infektivitasnya dihancurkan bahan kimia.
Baca: Pasar Seafood Huanan Diduga Bukan Satu-satunya Penyebab Virus Corona Mewabah, Ahli Beri Penjelasan
Baca: Pasien Virus Corona Pertama yang Sembuh di Jiangxi, Kondisi Sempat Kritis saat Dibawa ke RS
Untuk menguji vaksin, harus disuntikkan ke hewan.
Yuen menjelaskan, hal tersebut dilakukan untuk mengetahui apakah vaksin yang dikembangkan menghasilkan respons kekebalan yang baik atau tidak.
"Jika vaksin terlihat efektif dan aman pada sejumlah spesies hewan, akan dilanjutkan uji klinis pada manusia."
"Proses ini setidaknya membutuhkan waktu satu tahun, bahkan jika dipercepat," tutur Yuen.
Ia mengaku khawatir, pendekatan yang diambil pihak China dalam mengembangkan virus bisa menyebabkan komplikasi besar.
Dimana orang-orang yang divaksinasi dapat terkena penyakit lebih parah jika terdampak virus.
Dilansir SCMP, sebelumnya Rumah Sakit Shanghai Timur Universitas Tongji, telah mendesak untuk menyetujui proyek pengembangan vaksin 2019-nCoV.
Vaksin itu akan dikembangkan bersama rumah sakit dan Stemirna Theurapeutics, sebuah perusahaan bioteknologi di Shanghai.
CEO perusahaan, Li Hangwen pun mengklaim vaksin bisa diproduksi dalam kurun waktu tak lebih dari 40 hari.
Mengutip CNN, sejauh ini Hong Kong sudah mengonfirmasi delapan kasus virus corona.
Baca: KRONOLOGI Penyebaran Virus Corona hingga ke Luar China
Baca: Heboh Virus Corona, Bill Gates Peringatkan sejak Lama soal Wabah Mematikan, Sebut Seperti Perang
Hingga saat ini, sudah 19 negara yang mengonfirmasi kasus 2019-nCoV, termasuk China dan Hong Kong.
Berikut rinciannya berdasarkan data terbaru yang dirlilis CNN, Rabu pukul 20.04 WIB:
- China (6.061 kasus)
- Hong Kong (8 kasus)
- Makau (7 kasus)
- Australia (7 kasus)
- Kamboja (1 kasus)
- Kanada (2 kasus)
- Prancis (4 kasus)
- Jerman (4 kasus)
- Jepang (7 kasus)
- Malaysia (7 kasus)
- Nepal (1 kasus)
- Singapura (5 kasus)
- Korea Selatan (4 kasus)
- Sri Lanka (1 kasus)
- Thailand (14 kasus)
- Taiwan (8 kasus)
- Uni Emirat Arab (4 kasus)
- Amerika Serikat (5 kasus)
- Vietnam (2 kasus)
(Tribunnews.com/Pravitri Retno W)