Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

RS di Italia Kekurangan Ventilator, Pasien Covid-19 Usia di Atas 60 Tahun akan Direlakan Meninggal

RS di Italia Kekurangan Ventilator atau alat bantu pernapasan, Pasien Covid-19 Usia di Atas 60 Tahun Akan Dibiarkan Meninggal

Penulis: Tiara Shelavie
Editor: bunga pradipta p
zoom-in RS di Italia Kekurangan Ventilator, Pasien Covid-19 Usia di Atas 60 Tahun akan Direlakan Meninggal
SKY NEWS
Dokumentasi dari rumah sakit di Italia 

TRIBUNNEWS.COM - Seorang dokter asal Israel yang kini bekerja di rumah sakit Italia berkata staf medis tak lagi bisa memberikan ventilator kepada pasien yang berusia 60 tahun ke atas.

Dr Gal Peleg, yang bekerja di Parma, berkata mesin pernapasan buatan itu begitu terbatas sehingga penggunaannya harus dibatasi.

Dr Peleg mengatakan departemennya memastikan pasien virus corona yang sakit parah bisa mengucapkan selamat tinggal kepada keluarganya meskipun ada aturan karantina yang ketat, N12 mengabarkan via Daily Mail (22/3/2020).

Baca: 793 Orang Meninggal dalam 24 Jam karena Corona di Italia, Situasi Terburuk Sejak Perang Dunia II

Dr Gal Peleg
Dr Gal Peleg

Pada hari Minggu (22/3/2020) para menteri di Roma memutuskan untuk me-lockdown negeri, serta memerintahkan semua bisnis yang tidak penting di negara itu ditutup.

Tetapi meskipun Italia telah mengimbau social distancing, jumlah pasien meninggal dunia Sabtu (21/3/2020) meningkat dari 739 menjadi 4.825 secara nasional, menandai hari paling mematikan bagi sebuah negara dalam pandemi global sejauh ini.

BBC melaporkan, Lombardy menjadi wilayah yang paling parah terkena dampak dari wabah.

Tercatat, 3.095 kematian berasal dari wilayah tersebut.

Baca: Faktor-faktor di Balik Bencana Corona di Italia

Anggota staf pencegahan epidemi di ruang gawat darurat rumah sakit Cotugno, Naples, Italia.
Anggota staf pencegahan epidemi di ruang gawat darurat rumah sakit Cotugno, Naples, Italia. (Backgrid)
Berita Rekomendasi

Lantas, Presiden Lombardy, Attilio Fontana, mengumumkan langkah-langkah baru dalam sebuah pernyataan.

Fontana mengumumkan, baik individu maupun kelompok, dilarang untuk melakukan aktivitas fisik dan olahraga di luar.

Selain itu, warga juga dilarang menggunakan mesin penjual otomatis.

Perdana Menteri Italia, Giuseppe Conte, pun menyarankan hal serupa.

Dilansir Metro, Conte memerintahkan semua bisnis yang "tidak berkepentingan" untuk ditutup.

Namun, dia tidak merinci bisnis mana yang dianggap penting.

Supermarket, apotek, kantor pos, dan bank akan tetap dibuka.

Transportasi umum juga akan terus berjalan.

Pekerjaan di luar dihentikan, kecuali mereka yang bekerja di rumah sakit, jalan, dan kereta api.

Semua pasar juga ditutup.

Ilustrasi.
Hingga berita ini diturunkan, sebanyak 53.578 kasus telah dikonfirmasi di Italia. (Backgrid)

Melalui pidato di televisi, Conte memberikan pernyataan.

"Kami akan mengurangi fasilitas produksi di negara ini, tetapi kami tidak akan menghentikannya," ujar Conte.

Conte juga menggambarkan wabah Corona sebagai situasi terberat.

"Wabah virus Corona adalah krisis paling sulit setelah Perang Dunia II," imbuhnya.

Conte berjanji untuk memperketat lockdown nasional untuk melawan penyebaran infeksi.

Belajar dari Kasus Corona di Italia: Isolasi, Social Distancing Memang Perlu Dilakukan Lebih Awal

Tragedi yang terjadi di Italia; penularan super cepat dengan angka kematian yang tinggi, dijadikan sebagai peringatan dan pelajaran bagi tetangga Eropa dan Amerika Serikat, di mana virus datang dengan kecepatan yang sama.

Baca: Obat-obat yang Diuji untuk Atasi Virus Corona: Klorokuin, Avigan, Remdesivir, hingga Kaletra

Dari apa yang terjadi di Italia, langkah-langkah untuk mengisolasi daerah yang terkena dampak dan membatasi pergerakan populasi yang lebih luas perlu diambil lebih awal, diberlakukan dengan kejelasan dan ditegakkan dengan ketat.

Upaya Italia menahan penularan virus corona, dengan mengisolasi kota-kota terlebih dahulu, kemudian wilayah, kemudian seluruh negara, nyatanya masih kalah cepat dengan penyebaran virus.

Sebuah pandangan diambil pada 20 Maret 2020 di Cremona, tenggara Milan, Italia menunjukkan petugas kebersihan dengan alat pelindung mendisinfeksi tempat tidur pasien di salah satu tenda dari rumah sakit lapangan yang baru saja beroperasi untuk pasien virus corona, yang dibiayai oleh LSM bantuan bencana Kristen evangelikal AS, Samaritan's Purse . Sepenuhnya operasional, struktur akan terdiri dari 15 tenda, 60 tempat tidur, 8 di antaranya akan berada dalam perawatan intensif.
Sebuah pandangan diambil pada 20 Maret 2020 di Cremona, tenggara Milan, Italia menunjukkan petugas kebersihan dengan alat pelindung mendisinfeksi tempat tidur pasien di salah satu tenda dari rumah sakit lapangan yang baru saja beroperasi untuk pasien virus corona, yang dibiayai oleh LSM bantuan bencana Kristen evangelikal AS, Samaritan's Purse . Sepenuhnya operasional, struktur akan terdiri dari 15 tenda, 60 tempat tidur, 8 di antaranya akan berada dalam perawatan intensif. (Miguel MEDINA / AFP)

"Sekarang kita sedang mengejar," ujar Sandra Zampa, sekretaris di bawah Kementerian Kesehatan, yang mengatakan Italia melakukan yang terbaik.

"Kami ditutup secara bertahap, seperti yang dilakukan Eropa; Prancis, Spanyol, Jerman. AS juga melakukan hal yang sama."

"Setiap kali ada yang ditutup, orang-orang menyerahkan sedikit kehidupan normalnya."

"Karena virus ini tidak memungkinkan kita hidup normal."

Baca: Cegah Corona, Singapura Tolak Semua Pengunjung yang Masuk, Meskipun Hanya Transit

Pemerintah di luar Italia sekarang terancam mengikuti jalan yang sama, mengulangi kesalahan yang sudah terjadi dan mengundang bencana serupa.

Setelah apa yang terjadi, pejabat Italia memberikan pembelaan bahwa krisis seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya di zaman modern.

Mereka menegaskan bahwa pemerintah sudah merespons dengan cepat dan kompeten, segera bertindak atas saran para ilmuwan dan bergerak lebih cepat pada langkah-langkah drastis.

Namun, catatan tindakan Italia justru menunjukkan peluang yang terlewatkan serta langkah yang salah.

Pada hari-hari awal wabah melanda, Conte dan pejabat tinggi lainnya berusaha menciptakan rasa aman palsu yang membuat virus menyebar tanpa kewaspadaan.

Mereka menyalahkan tingginya jumlah infeksi di Italia karena banyaknya orang-orang tanpa gejala di utara.

Bahkan begitu pemerintah Italia menganggap lockdown universal diperlukan untuk mengalahkan virus, pemerintah gagal mengkomunikasikan dengan masyarakat.

Tidak adanya ancaman yang cukup kuat tidak bisa membujuk orang Italia agar mematuhi aturan.

"Ini tidak mudah dalam demokrasi liberal," kata Walter Ricciardi, anggota dewan Organisasi Kesehatan Dunia dan penasihat utama untuk kementerian kesehatan.

Ia mengatakan pemerintah Italia telah bergerak dengan kecepatan yang jauh lebih cepat, dan menganggap ancaman virus itu jauh lebih serius, daripada tetangga-tetangga Eropa atau Amerika Serikat.

Namun, ia mengakui bahwa menteri kesehatan kesulitan untuk membujuk pemerintah untuk bergerak lebih cepat.

Ditambah lagi, adanya pembagian kekuasaan Italia antara Roma dan daerah lain yang terpecah, membuat pesan menjadi tidak konsisten.

"Kami harusnya melakukannya 10 hari sebelumnya, mungkin ada perbedaan," ujar Walter Ricciardi.

(Tribunnews.com, Tiara Shelavie/Citra Agusta Putri Anastasia)

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas