Hari Buruh Internasional, May Day Berawal dari Perayaan Tradisional Orang Romawi dan Eropa
Hari Buruh Internasional atau May Day biasanya diperingati dengan aksi damai untuk menyuarakan kembali aspirasi dari buruh kepada pemerintah.
Penulis: Ika Nur Cahyani
Editor: Whiesa Daniswara
Diduga pada 1515 silam, istri pertama Henry VIII, Catherine dari Aragon mengajak wanita-wanita di pagi hari untuk mandi di embun Mei untuk manfaat penyembuhannya.
Ekspresi paling ikonik dari perayaan May Day adalah Tiang May, pusat perayaan dan tarian.
Awalnya ini adalah pohon besar di hutan yang dihiasi, tetapi kemudian ditebang dan dibawa ke desa dan dihiasi dengan bunga, karangan bunga, saputangan, dan pita.
Tarian di sekitarnya merupakan ekspresi kegembiraan menyambut hidup baru.
Perkembangan May Day
Selama periode interregnum dari 1649, May Day dilarang karena dianggap sebagai perayaan yang tidak baik.
Namun setelah May Day dimusnahkan oleh kaum Puritan, hal itu diangkat kembali selama periode Pemulihan di bawah Charles II.
May Day terus menjadi perayaan sipil dan dikembangkan lebih lanjut sebagai festival untuk buruh dan petani seperti pelayan susu.
Dihubungkan dengan pelayan susu selaras dengan kebiasaan May Day yang dijelaskan oleh Yang Mulia Bede tentang sapi yang lebih sering diperah pada Mei.
Sementara itu, tarian May Pole sangat populer di masyarakat Victoria dan pada abad ke-19 tarian ini dilakukan gadis-gadis sembari mengenakan perhiasan mereka.
Hingga saat ini di sejumlah sekolah dan desa-desa perayaan May Day semacam ini masih dilakukan.
Namun, ada beberapa tempat di Devon, Cornwall dan Skotlandia, yang meneruskan kebiasaan kuno Beltane pada 1 Mei.
Yakni menyulut api dengan maksud membersihkan musim panas yang lama dan menyambut dan harapan akan kehidupan baru.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)