Irak Akhirnya Miliki Perdana Menteri Baru setelah 6 Bulan Terjadi Kerusuhan Politik
Para anggota parlemen Irak telah menyetujui perdana menteri dan pemerintahan baru setelah enam bulan terjadi kerusuhan politik.
Penulis: Ika Nur Cahyani
Editor: Tiara Shelavie
TRIBUNNEWS.COM - Para anggota parlemen Irak telah menyetujui perdana menteri dan pemerintahan baru setelah enam bulan terjadi kerusuhan politik.
Dikutip dari Guardian, selama kekosongan kepemimpinan para partai bertengkar karena kursi kabinet dianggap telah 'dipesan'.
Kini Irak akan dipimpin perdana menteri baru yakni Mustafa al-Kadhimi.
Dia adalah kepala intelijen Irak dan mantan jurnalis di negara itu.
Sayangnya Kadhimi harus memulai pemerintahannya dengan jajaran kabinet yang belum lengkap lantaran sejumlah kandidat menteri ditolak.
Baca: Imigrasi Tolak 2 Warga Ukraina dan 1 Irak, Total 242 WNA Dilarang Masuk ke Indonesia
Baca: Para Ahli Khawatirkan Hoaks yang Menyebar di Irak di Tengah Wabah Covid-19
Para pejabat Irak mengatakan Kadhimi dapat diterima oleh Amerika Serikat dan Iran.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo menyambut pemerintahan baru dibawah Kadhimi itu.
Dia juga mengatakan, Washington akan memperbarui 120 hari pengabaiannya kepada Irak.
Sehingga Irak bisa mengimpor listrik dari Iran untuk mengondisikan pemerintahan yang baru dengan baik.
Sebelumnya, pemimpin sementara yakni Adel Abdul Mahdi tahun lalu mengundurkan diri dari jabatan perdana menteri setelah didemo masyarakat.
Ribuan demonstran anti pemerintah turun ke jalan dan menuntut para elit penguasa Irak agar meninggalkan jabatannya.
Mereka menuduh kelas politik yang mengambil alih setelah invasi AS 2003 yang menggulingkan Saddam Hussein dari korupsi yang telah menyebabkan negara itu menjadi disfungsi dan kehancuran ekonomi.
Pertempuran atas portofolio pemerintah sejak pengunduran diri Abdul Mahdi pada November mencegah dua calon perdana menteri untuk membentuk kabinet.
Sementara itu, kandidat Kadhimi untuk jabatan kabinet termasuk interior, pertahanan, keuangan, dan listrik disahkan dengan suara dari mayoritas anggota parlemen yang hadir.
Voting pada kementerian minyak dan asing ditunda karena partai-partai tidak menyepakati kandidat.
Mereka menolak pilihan perdana menteri untuk keadilan, pertanian, dan perdagangan.
"Keamanan, stabilitas dan berkembangnya Irak adalah jalan kita," tulis Kadhimi di akun Twitter-nya setelah parlemen memilih kabinetnya.
Di awal masa jabatannya, Kadhimi dihadapkan dengan pandemi Covid-19 yang sudah menjangkiti wilayahnya.
Dia mengatakan akan membuat rencana penanganan virus corona sebagai priorotas.
Menurut Guardian, di Irak sudah ada lebih dari 2.000 kasus infeksi dan 100 lebih kematian.
Kadhimi juga akan meminta pertanggungawaban oknum yang telah membunuh pengunjuk rasa selama kerusuhan anti pemerintah beberapa bulan lalu.
Pemerintah Kadhimi harus berurusan dengan krisis ekonomi yang akan datang karena dipicu pandemi corona.
Krisis inilah yang menyebabkan sumber utama pendapatan Irak, minyak, anjlok.
AS Serang Jenderal Top Iran
Sebelumnya, Amerika Serikat membunuh jenderal top Iran Qassem Suleimani dan sekutu dekatnya, pemimpin paramiliter Irak Abu Mahdi al-Muhandis dalam serangan pesawat tak berawak di sebelah bandara internasional Baghdad pada Januari silam.
Iran menanggapi dengan serangan rudal langsung pertamanya terhadap pasukan AS di sebuah pangkalan di Irak barat beberapa hari kemudian.
Tidak ada korban jiwa dalam peluncuran rudal tersebut.
Washington menuduh kelompok paramiliter yang didukung oleh Teheran melakukan serangkaian serangan roket ke pangkalan-pangkalan lain dalam beberapa bulan terakhir.
Salah satunya menewaskan tiga tentara dalam koalisi militer pimpinan AS yang berbasis di Irak.
Roket secara teratur ditembakkan di dekat kedutaan besar AS di Baghdad.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)