Amerika-China Kian Memanas: 60 Persen Kekuatan Tempur Angkatan Laut AS Telah Berada di Asia Pasifik
Ketegangan antara dua negara superpower ini meningkat di berbagai bidang sejak Presiden AS Donald Trump berada di pucuk kekuasaan
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hadirnya militer Amerika Serikat (AS) di wilayah Asia-Pasifik--dengan jumlah yang belum pernah terjadi sebelumnya--meningkatkan risiko terjadinya gesekan dengan militer China di kawasan.
Hal itu diakui seorang pejabat senior China seperti dilansir AFP, Selasa (23/6/2020) kemarin.
Ketegangan antara dua negara superpower ini meningkat di berbagai bidang sejak Presiden AS Donald Trump berada di pucuk kekuasaan pada 2017, di mana kedua negara melenturkan saling otot diplomatik dan militer mereka.
Operasi reguler angkatan laut AS di Laut China Selatan untuk menjamin kebebasan navigasi, merupakan tempat di mana China dan negara-negara tetangganya saling bersaing memperebutkan wilayah tersebut, telah membuat Beijing berang dan dalam sejumlah kesempatan angkatan laut China biasanya memperingatkan kapal-kapal AS.
Sementara itu, Beijing juga telah membuat marah negara-negara lain karena membangun pulau-pulau buatan dengan instalasi militer di beberapa tempat di Laut China Selatan.
Baca: AS Kerahkan 3 Kapal Induk ke Perbatasan China, Rudal Penghancur Kapal Induk Disiapkan China
Presiden Institut Nasional Studi Laut China Selatan, Wu Schicun, sebuah lembaga think tank China, mengatakan, pengerahan militer AS secara besar-besaran di kawasan Asia Pasifik belum pernah terjadi sebelumnya.
Karena itu, kemungkinan terjadinya insiden militer atau tembakan yang tak disengaja meningkat. "Jika krisis meletus, dampak pada hubungan bilateral akan menjadi bencana besar," ucapnya.
Baca: 3 Kapal Induk AS yang Bawa Ratusan Jet Tempur F-18 Tiba di Laut China Selatan
Dalam sebuah laporan yang dipresentasikannya, Wu mengatakan, AS telah mengerahkan 375.000 tentara dan 60% dari kapal perangnya di kawasan Indo-Pasifik. Dimana tiga kapal induk AS telah dikirim di kawasan ini.
Sebagai perbandingan, selama delapan tahun masa jabatan Presiden AS Barack Obama, angkatan laut AS hanya melakukan empat kali operasi kebebasan navigasi di wilayah tersebut.
Sementara selama masa pemerintahan Trump yang belum genap empat tahun, sudah ada 22 kali operasi kebebasan navigasi yang dilakukan angkatan laut AS.
Untuk itu, ia menyarankan agar kedua militer harus meningkatkan komunikasi untuk mencegah kesalahpahaman strategis dan salah perhitungan.
Selain itu, pertemuan militer tingkat tinggi harus dilanjutkan, saluran telepon langsung harus dibuka dan manuver angkatan laut bersama harus dilakukan, katanya.
Laporan itu mengatakan China tidak menganggap Amerika Serikat sebagai saingan potensial atau membayangkan perang dingin atau panas baru dengan AS.
Dokumen itu memperingatkan bahwa memburuknya hubungan militer akan secara substansial meningkatkan kemungkinan insiden berbahaya, konflik atau bahkan krisis.