Obat Remdesivir Nyaris Ludes Diborong AS, Tak Sisakan Stok Buat Negara Lainnya
Amerika Serikat memborong hampir seluruh persediaan obat pemulihan Covid-19, Remdesivir, tanpa menyisakan negara lainnya.
Penulis: Ika Nur Cahyani
Editor: Muhammad Renald Shiftanto
TRIBUNNEWS.COM - Amerika Serikat memborong hampir seluruh persediaan obat Remdesivir, tanpa menyisakan negara lainnya.
Dikutip dari The Guardian, AS membelinya untuk persediaan tiga bulan ke depan tanpa menyisakan untuk Inggris, Eropa, bahkan sebagian besar negara lainnya.
Para ahli khawatir dengan tindakan AS ini dan membayangkan implikasi lebih luas, misalnya saat vaksin tersedia.
Sebab pemerintahan Donald Trump sudah menunjukkan sikap untuk mengalahkan semua negara dan mengamankan pasokan medis untuk AS sendiri.
"Mereka mendapatkan akses ke sebagian besar pasokan obat (dari remdesivir), jadi tidak ada apa pun untuk Eropa," kata Dr. Andrew Hill, seorang peneliti senior.
Baca: Rupiah Melemah ke Rp 14.288 per Dolar AS, Rabu 1 Juli 2020, Dipicu Kekhawatiran Gelombang 2 Covid-19
Baca: Donald Trump Jadi Buronan Iran, Akan Terus Diburu Meski Sudah Tak Lagi Pimpin AS
Remdesivir merupakan obat pertama yang disetujui otoritas AS untuk mengobati penderita Covid-19.
Obat potensial ini diproduksi oleh Gilead dan telah terbukti membantu memulihkan penderita corona lebih cepat.
Adapun 140.000 dosis pertama dikirim untuk uji coba ke seluruh dunia.
Kini pemerintahan Trump telah membeli lebih dari 500.000 dosis.
Dosis sebanyak itu adalah total produksi Gilead untuk Juli dan 90 persen pada Agustus dan September.
"Presiden Trump telah mencapai kesepakatan luar biasa untuk memastikan Amerika memiliki akses ke terapi terotorisasi pertama untuk Covid-19," kata sekretaris layanan kesehatan dan kemanusiaan AS, Alex Azar.
"Sedapat mungkin, kami ingin memastikan bahwa setiap pasien Amerika yang membutuhkan remdesivir bisa mendapatkannya."
"Administrasi Trump melakukan segala daya kami untuk mempelajari lebih lanjut tentang terapi penyelamatan jiwa untuk Covid-19 dan mengamankan akses ke opsi ini untuk rakyat Amerika," tambahnya.
Baca: Sadari Potensi Kekalahan dalam Pemilihan Presiden 2020, Trump: Joe Biden Mungkin akan Jadi Presiden
Baca: Iran Keluarkan Surat Perintah Penangkapan Donald Trump atas Pembunuhan Jenderal Qassem Soleimani
Remdesivir sebenarnya diperuntukkan mengobati Ebola, sayangnya tidak berhasil.
Obat ini telah dipatenkan Gilead, artinya tidak ada perusahaan obat lain yang boleh membuatnya.
Menurut pernyataan pemerintah AS, harga obat ini sekitar USD 3.200 atau sekitar Rp 46 juta per perawatan dengan enam dosis.
Kesepakatan pembelian remdesivir besar-besaran ini diumumkan karena pandemi corona semakin mewabah di AS.
Ahli penyakit menular top AS, Anthony Fauci mengatakan bahwa AS tidak mengalami kemajuan di tengah wabah ini.
"Kita menuju ke arah yang salah," kata Fauci.
Pekan lalu AS mencatat penambahan infeksi harian sejumlah 40.000.
"Saya tidak akan terkejut jika kita mencapai 100.000 sehari jika ini tidak berbalik," katanya.
"Ini akan sangat mengganggu, saya jamin itu," tambah Fauci, tanpa menjelaskan perkiraannya pada korban jiwa pandemi ini.
Baca: Coba Makanan Indonesia, Eks Pemain Juventus dan AS Roma Terpesona dengan Kerupuk
Baca: Nyawa Dua Remaja di AS Ditembak Gara-Gara Tanya Tinggi Badan, Begini Kejadiannya
AS telah mencatat lebih dari 2,5 juta kasus infeksi Covid-19, terbanyak di dunia.
Worldometers pada Rabu (1/7/2020) mencatat 2.727.996 kasus infeksi.
Adapun kematiannya sejumlah 130.123 dengan pasien sembuh sebanyak 1.143.490.
Bersama dengan kondisi wabah ini, sejumlah negara bagian memutuskan menutup negara kembali setelah beberapa waktu dibuka.
Pada Senin lalu, Gubernur Arizona memerintahkan bar, bioskop, pusat kebugaran, dan taman ditutup selama sebulan hanya beberapa minggu setelah dibuka kembali.
Texas, Florida, dan California, semuanya mengalami peningkatan kasus dan juga menerapkan pembatasan kembali.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)