Usul Tunda Pilpres AS 2020, Presiden Trump Disebut Berfantasi dan Berperilaku Fasis
Trump meningkatkan kekhawatiran banyak orang sesudah ia menyarankan pemilihan ditunda sampai orang-orang dapat memilih dengan benar, aman dan aman.
Editor: Setya Krisna Sumarga
TRIBUNNEWS.COM, NEW YORK – Desakan Presiden AS Donald Trump agar Pilpres 3 November 2020 ditunda, mengundang reaksi negatif berbagai elite politik AS.
Sekutu utama Trump di Kongres, Lindsey Graham (Republik), menilai gagasan itu tidak relevan. Trump tidak memiliki kewenangan menunda atau mengusulkan penundaan.
Kritikan lebih tajam disampaikan Steven Calabresi, tokoh konservatif pendiri Masyarakat Federalis dan profesor di Northwestern University.
Dalam artikelnya di New York Times, Jumat (31/7/2020), ia menyebut Trump memiliki gejala fasis. Cuitan terakhirnya yang meminta Pilpres ditunda, membuktikan ia sejak awal ingin mendelegitimasi proses politik yang diatur konstitusi.
Calabresi terhitung tokoh senior kelompok konservatif di Partai Republik. Di mata Profesor Justin Levitt, guru besar Loyola Marymount University, pernyataan Trump itu juga seperti fantasi.
“Ini contoh lain langkah Presiden yang mendelegitimasi proses pemilihan sebelum terjadi. Ini akan membuat ketidakpercayaan mendalam,” kata Levitt.
Ari Fleischer, sekretaris pers masa Presiden George HW Bush, menyarankan Trump menghapus cuitan di akun Twitternya.
“Demokrasi kita didasarkan pada pemilihan, yang semua orang sudah tahu aturan dan mereka menerapkannya secara baik,” kata Fleischer.
“Pak Presiden, tolong jangan membuat segalanya berantakan. Ini ide yang sangat menggangu,” imbuhnya.
Baca: Presiden AS Donald Trump Desak Pilpres November Ditunda
Hasil jajak pendapat Reuters menunjukkan, mayoritas pemilih menginginkan tidak ada penundaan pemilihan atas dasar alasan apapun.
Dale Ho, Direktur Persatuan Kebebasan Sipil Amerika, menyebut Trump kehilangan dasar legitimasi untuk menunda pemilihan.
“Ini Amerika,” kata Ho. “Kita demokrasi, bukan kediktatoran. Konstitusi menetapkan pemilihan November, bukan apa kata Presiden,” lanjutnya.
Kantor berita Reuters, juga melansir aneka reaksi menyusul mencuatnya desakan penundaan Pilpres AS oleh Trump.
Kalangan investor kini semakin bersiap mengambil risiko atas situasi politik yang bisa memburuk. Jika itu terjadi akan menciptakan ketidakstabilan di seluruh pasar.
Gejalanya terlihat ketika Presiden Trump sudah mempertanyakan legitimasi pemilihan menyusul mekanisme pemilihan secara elektronik.
“Ini akan menjadi jelek," kata Nick Maroutsos, kepala obligasi global di Janus Henderson Investors kepada Reuters .
Baca: Ide Donald Trump Menunda Pemilu AS Ditolak Partainya Sendiri
Trump meningkatkan kekhawatiran banyak orang sesudah ia menyarankan pemilihan ditunda sampai orang-orang dapat memilih dengan benar, aman dan aman.
Trump mengatakan dia tidak akan mempercayai hasil pemilihan yang mencakup pemilihan surat secara luas.
Tweet itu menyebabkan aksi jual spontan di ekuitas, yang berbalik selama perdagangan hari itu. Pasar derivatif menilai risiko volatilitas yang lebih tinggi setelah pemilihan.
Trump tidak memiliki wewenang langsung untuk mengubah tanggal pemilihan federal, Kewenangan ini hanya ada pada Kongres.
Sekretaris pers bidang kampanye Trump, Hogan Gidley, membela pernyataan Presiden. Hal itu menurut Gidley merujuk kekacauan yang sudah teruji atas mekanisme “mail in voting”.
Pemilihan lewat surat elektronik mengundang kekacauan dan hasilnya banyak yang terunda,” kata Hogan Gidley.(Tribunnews.com/Reueters.com/Haaretz.com/xna)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.